Reporter: Nurtiandriyani Simamora | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Meski Indonesia mendapat tarif impor dari Amerika Serikat (AS) yang lebih rendah dibanding negara kawasan ASEAN, belum menjamin ekspor Indonesia aman.
Pasalnya, biaya produksi dalam negeri yang masih tinggi membuat produk ekspor Indonesia kalah bersaing dengan negara lain.
Peneliti Pusat Industri, Perdagangan, dan Investasi Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Ahmad Heri Firdaus mengatakan, pengenaan tarif sebesar 19% oleh AS terhadap produk asal Indonesia memang relatif lebih kecil dibandingkan negara lain yang tarifnya bisa mencapai 30%-50%.
Namun, ekspor Indonesia justru turun cukup dalam, khususnya di sektor tekstil, pakaian jadi, dan alas kaki yang menyusut sekitar 4,88%.
“Salah satu indikatornya adalah I-COR kita yang masih tinggi. Artinya, untuk memproduksi satu unit barang, modal yang dibutuhkan di Indonesia jauh lebih besar dibanding negara pesaing seperti Vietnam atau Bangladesh,” kata Heri, Senin (21/7).
Baca Juga: Donald Trump Kembali Ancam Negara Anggota BRICS, Akan Tambah Tarif
I-COR atau Incremental Capital Output Ratio adalah indikator efisiensi investasi dalam menghasilkan output ekonomi. Semakin tinggi I-COR, semakin boros biaya produksi. Di Indonesia, kata Heri, untuk membuat sepasang sepatu dibutuhkan biaya hingga US$ 8, sedangkan di Vietnam hanya sekitar US$ 5.
“Produk kita pada dasarnya kurang kompetitif. Meskipun dikasih tarif 19%, negara-negara lain rata-rata 25%-30%, mereka masih lebih unggul karena mereka sudah lebih dulu melakukan efisiensi biaya produksi, dan mungkin lebih produktif. Ini yang kita belum kepikiran selama ini,” tegasnya.
Heri menjelaskan, meskipun negara seperti Vietnam atau Bangladesh dikenakan tarif lebih tinggi, mereka masih mampu menjaga daya saing karena efisiensi produksi yang lebih baik. Faktor-faktor seperti tarif listrik, biaya logistik, transportasi, dan efisiensi tenaga kerja sangat memengaruhi harga akhir produk di pasar internasional.
“Memang tarif kita lebih kecil, bukan berarti ekspor kita lebih kuat. Belum tentu juga,” ujar dia.
Selain melemahnya ekspor, Heri juga menyoroti potensi penurunan investasi di sektor padat karya seperti tekstil dan alas kaki. Menurut simulasi Indef, investasi di sektor ini bisa turun hingga 2,06%. Ini menjadi ancaman serius bagi keberlangsungan industri yang selama ini menyerap banyak tenaga kerja.
“Kalau pemegang merek global seperti Nike dan lainnya melihat tren ini tidak menguntungkan, mereka bisa saja pindahkan basis produksinya dari Indonesia ke negara lain yang lebih efisien,” ujarnya.
Di sisi lain, Heri menilai permintaan AS agar Indonesia menghapus bea masuk untuk produk-produk mereka juga perlu dicermati. Sebab, hal ini bisa membanjiri pasar domestik dengan barang impor yang bisa merugikan industri lokal yang belum cukup kompetitif.
“AS enggak minta hal yang sama ke Vietnam atau Thailand. Tapi mereka minta Indonesia buka pasarnya. Ini harus dilihat dengan hati-hati,” tegasnya.
Baca Juga: Antisipasi Tarif Trump, Sri Mulyani Jajaki Kerjasama dengan Kanada
Heri menyimpulkan, tarif rendah bukan jaminan ekspor Indonesia akan tumbuh. Selama biaya produksi dalam negeri masih tinggi dan I-COR tetap boros, Indonesia akan sulit bersaing, terutama di pasar utama seperti AS yang menyerap 10%-11% dari total ekspor nasional.
“PR kita bukan cuma menekan tarif, tapi bagaimana menurunkan biaya produksi, meningkatkan efisiensi, dan memperkuat daya saing industri dalam negeri,” imbuh Heri
Selanjutnya: Rupiah Ditutup Melemah ke Rp 16.323 Per Dolar AS Hari Ini, Paling Buruk di Asia
Menarik Dibaca: Update Terkini Gift Code Ojol The Game 21 Juli 2025 dari Codexplore
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News