kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.945.000   -6.000   -0,31%
  • USD/IDR 16.290   6,00   0,04%
  • IDX 7.606   72,54   0,96%
  • KOMPAS100 1.082   12,15   1,14%
  • LQ45 800   6,71   0,85%
  • ISSI 254   -0,52   -0,20%
  • IDX30 413   4,37   1,07%
  • IDXHIDIV20 473   6,15   1,32%
  • IDX80 121   0,84   0,71%
  • IDXV30 126   2,02   1,63%
  • IDXQ30 132   1,65   1,26%

Tarif Resiprokal dan Biaya Produksi Tinggi Berpotensi Tekan Ekspor Indonesia ke AS


Senin, 11 Agustus 2025 / 15:51 WIB
Tarif Resiprokal dan Biaya Produksi Tinggi Berpotensi Tekan Ekspor Indonesia ke AS
ILUSTRASI. Suasana bongkar muat petikemas di pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Rabu (16/7). Penurunan ekspor Indonesia ke Amerika Serikat (AS) dipicu oleh kenaikan tarif yang dikenakan pada barang ekspor, termasuk tarif resiprokal yang lebih tinggi. KONTAN/Cheppy A. Muchlis/16/07/2025


Reporter: Indra Khairuman | Editor: Putri Werdiningsih

KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia memproyeksikan ekspor Indonesia ke Amerika Serikat (AS) mengalami penurunan sebesar USD9,23 miliar akibat penerapan tarif resiprokal Trump. Penurunan ekspor Indonesia ke Amerika Serikat (AS) dipicu oleh kenaikan tarif yang dikenakan pada barang ekspor, termasuk tarif resiprokal yang lebih tinggi. 

Tim Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia menjelaskan bahwa penurunan ekspor tidak terlepas dari penambahan tarif yang diterapkan pada produk ekspor dari Indonesia. Berbeda dengan kabar yang beredar, tarif ekspor Indonesia ke AS justru tetap naik.

"Kenaikan ini berasal dari akumulasi tarif resiprokal dan tarif dasar yang sebelumnya sudah berlaku," tulis tim CORE dalam riset  berjudul dalam risetnya Biaya Mahal Negosiasi Tarif yang dikutip Kontan.co.id, Senin (11/8/2025).

Baca Juga: Kesepakatan Tarif Resiprokal Indonesia-AS Dinilai Berisiko Tekan Ekonomi Nasional

Tarif resiprokal sendiri dimengerti sebagai biaya tambahan seperti pajak dan biaya lainnya di luar bea masuk, yang dikenakan secara sepesifik dan lebih tinggi pada barang impor dari beberapa negara.

CORE menyatakan bahwa Indonesia masih cukup kompetitif dibandingkan dengan Vietnam, Filipina, dan Malaysia. Misalnya tarif untuk produk alas kaki dan Sepatu dari Indonesia adalah 12%.

"Maka, tarif akhir yang akan diterima oleh produk alas kaki dan sepatu Indonesia di pasar AS setelah pemberlakuan tarif resiprokal adalah 12% + 19% = 31%," jelas tim CORE. 

Sementara itu, Vietnam berpotensi terkena tarif total sebesar 32%, Filipina 31%, dan Malaysia 31%.

CORE menekankan bahwa untuk barang elektronik, total tarif untuk Indonesia hanya sebesar 19% (0% tarif yang berlaku saat ini + 19% tarif resiprokal), yang lebih rendah dibandingkan Vietnam dan Malaysia yang masing-masing dikenakan 21% dan 20%.

"Untuk produk lain seperti pakaian, alas kaki, minyak nabati, karet, dan mebel, tarif Indonesia juga relatif unggul dibanding Vietnam dan setara dengan Filipina dan Malaysia," ucap tim CORE.

Namun, CORE juga mengingatkan bahwa sebagai anggota penuh BRICS, Indonesia masih berpotensi terkena tarif tambahan sebesar 10%, yang bisa menggerus daya saing ekspor Indonesia dibandingkan dengan negara-negara lain.

"Misalnya, produk elektronik Indonesia berpotensi menanggung tarif hingga sebesar 29%, jauh lebih tinggi dari tarif produk elektronik Vietnam yang hanya 21%, Filipina 19%, dan Malaysia 20%. Begitu juga untuk produk alas kaki dan sepatu Indonesia, total tarifnya bisa mencapai 41%," kata tim CORE.

Baca Juga: Tarif Resiprokal 19% Ekspor RI ke AS Berlaku, Bagaimana Nasib Pengecualian Produk?

CORE menegaskan bahwa tingginya biaya produksi dan biaya logistik di Indonesia jadi tantangan tersendiri. Biaya logistik Indonesia yang mencapai 23,5% dari total PDB, sementara Vietnam hanya sekitar 16,8%, Filipina 13%, dan Malaysia 13%.

"Semakin kecil nilai Logistics Performance Index (LPI) dan komponen International Shipments Score (ISS), semakin mahal biaya untuk mengirim barang dari suatu negara ke pasar internasional," jelas tim CORE.

Dari segi biaya produksi di sektor industri manufaktur, CORE mencatat bahwa upah tenaga kerja di Indonesia juga lebih tinggi dibandingkan biaya tenaga kerja di Vietnam, Filipina, dan Malaysia.

"Di Indonesia, pekerja di kawasan industri manufaktur di kawasan Jakarta dan sekitarnya menerima upah kira-kira US$ 2,59 per jam, sementara di Vietnam, Filipina, dan Malaysia masing-masing hanya US$ 0,9, US$ 1,38, dan US$ 2,06 per jam," terangnya.

CORE menekankan bahwa tingginya biaya produksi tersebut akan menyebabkan perbedaan harga untuk produk yang diekspor Indonesia ke pasar AS, dibandingkan dengan produk dari ketiga negara tersebut. Penurunan ekspor juga bisa dijelaskan dari sisi permintaan di AS.

Simulasi menunjukkan bahwa pengenaan tarif resiprokal akan menyebabkan inflasi di AS sekitar 7%. Menurut CORE, inflasi tersebut akan menurunkan daya beli konsumen sehingga permintaan terhadap produk yang berbasis kebutuhan sekunder akan menurun, termasuk permintaan pada produk garmen, pakaian, dan alas kaki yang jadi komoditas utama ekspor Indonesia ke AS.

Selanjutnya: Produksi Batubara Semester I Turun Jadi 357,6 Juta Ton, Bahlil Akui Permintaan Turun

Menarik Dibaca: Tips Cara Cerdas Ambil Keputusan Finansial Tanpa Nyesel

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Mitigasi Risiko SP2DK dan Pemeriksaan Pajak Executive Macro Mastery

[X]
×