Reporter: Shifa Nur Fadila | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah akan mulai memberlakukan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12% khusus untuk barang mewah pada Januari 2025.
Meski demikian, kebijakan ini dinilai tidak akan memberikan kontribusi signifikan terhadap peningkatan penerimaan negara.
Raden Agus Suparman, Konsultan Pajak dari Botax Consulting Indonesia menjelaskan bahwa penerapan tarif PPN 12% hanya untuk barang mewah memiliki dampak yang sangat terbatas terhadap penerimaan negara.
Baca Juga: Aturan PPN 12% untuk Barang Mewah Lambat Terbit, Ekonom: Pengusaha Makin Terbebani
“Jika dilihat dari sisi penerimaan, sebenarnya pengenaan tarif 12% hanya kepada barang mewah tidak akan mendorong penerimaan PPN, kecuali sangat sedikit,” ujar Raden kepada Kontan.co.id, Sabtu (7/12).
Ia menambahkan bahwa kecilnya kontribusi penerimaan PPN dari barang mewah disebabkan oleh objek pajak yang terbatas.
Dengan demikian, jika terjadi peningkatan penerimaan pada 2025, hal itu lebih mungkin dipengaruhi oleh pertumbuhan ekonomi dan daya beli masyarakat yang meningkat.
Raden juga menyoroti bahwa penerapan multitarif PPN pada 2025 merupakan langkah yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Selama ini, PPN dikenal sebagai pajak dengan tarif tunggal, yang juga berlaku di banyak negara lain.
“Tarif tunggal adalah ciri khas PPN yang selama ini diterapkan, baik di Indonesia maupun di berbagai negara lainnya,” jelasnya.
Baca Juga: Adira Finance: PPN 12% untuk Barang Mewah Bakal Berdampak bagi Industri Multifinance
Ia memandang bahwa kebijakan PPN 12% untuk barang mewah merupakan upaya untuk mengakomodasi kenaikan tarif PPN tanpa mengubah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).
Hal ini juga dianggap sebagai solusi kompromi untuk menghindari protes yang meluas dari masyarakat.
Mulai 1 Januari 2025, tarif PPN untuk barang mewah akan ditetapkan sebesar 12%, sementara barang umum lainnya tetap dikenakan tarif 11%.
Kebijakan ini sesuai dengan amanat UU HPP yang bertujuan untuk menyelaraskan peraturan perpajakan di Indonesia.
Meski demikian, efektivitas kebijakan ini dalam mendorong penerimaan negara masih menjadi tanda tanya, mengingat kontribusi pajak dari barang mewah relatif kecil dibandingkan total penerimaan PPN.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News