Reporter: Indra Khairuman | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Pemerintah dianggap terlalu optimistis dalam menetapkan target pertumbuhan ekonomi di Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026. Asumsi pertumbuhan ekonomi yang tidak realistis berisiko menyebabkan dampak negatif pada penerimaan pajak.
Pemerintah menetapkan asumsi dasar ekonomi makro dalam RAPBN 2026 dengan target pertumbuhan ekonomi secara tahunan di kisaran 5,2% hingga 5,8%. Sementara itu, inflasi diproyeksikan berada dalam rentang 1,5% hingga 3,5% secara year on year.
Lalu, asumsi nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat, dipatok pada level Rp16.500 hingga Rp16.900 per dolar AS. Selain itu, tingkat imbal hasil Surat Berharga Negara (SBN) 10 tahun diperkirakan akan berada dalam kisaran 6,6% hingga 7,2%.
Dalam hal target pembangunan, RAPBN 2026 juga mencantumkan sejumlah indikator sosial. Tingkat pengangguran terbuka ditargetkan pada rentang 4,44% sampai 4,96%. Pemerintah juga menargetkan tingkat kemiskinan berada di angka 6,5% hingga 7,5%, sementara kemiskinan ekstrem diharapkan bisa ditekan hingga 0% sampai 0,5%.
Adapun rasio ketimpangan atau gini rasio ditetapkan berada di kisaran 0,377 hingga 0,380.
Baca Juga: Panja Komisi XI DPR Sepakati Defisit RAPBN 2026 di Kisaran 2,48%-2,53% dari PDB
Bhima Yudhistira, Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS), bahwa beberapa asumsi makro dalam kesepakatan panja tersebut terlalu optimistis. Hal ini tidak mempertimbangkan tantangan yang ada dari eksternal maupun dalam negeri.
“Salah satunya kan kalau efisiensi anggaran masih berlanjut berarti dari dalam negeri kemampuan untuk mendorong konsumsi rumah tangga juga akan terbatas,” ujar Bhima kepada Kontan.co.id, Senin (7/7).
Kata Bhima, lemahnya konsumsi rumah tangga dan sektor industri manufaktur harus diperhatikan. Sehingga, ia menilai, batas atas target pertumbuhan ekonomi yang ditargetkan sebesar 5,8% masih terlalu tinggi.
Menurut Bhima, dampak dari asumsi yang terlalu tinggi ini adalah kekhawatiran terkait target penerimaan pajak.
“Jadi kalau targetnya tinggi kan diasumsikan masyarakat akan lebih banyak membayar pajak karena kemampuan ekonominya membaik,” jelas Bhima.
Namun, jika ini tidak tercapai, akan ada efek negatif yang bisa menyebabkan kontraksi ekonomi dan bahkan memperlambat pertumbuhan ekonomi.
Bhima juga menegaskan, idealnya target pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan nilai tukar rupiah untuk tahun mednatang. Ia memberikan saran agar target pertumbuhan ekonomi sebaiknya berada pada kisaran 4,8%-5%.
“Jadi lebih baik dibuat moderate dengan begitu kan ada warning juga bagaimana pemerintah bisa memberikan perlindungan sosial yang lebih baik,” kata Bhima.
Terkait inflasi, Bhima menilai, batas atas yang realistis adalah antara 1,5%-3,5%, mengingat harga komoditas yang rendah saat ini. Namun, ia juga mengingatkan bahwa adanya kekhawatiran geopolitik yang bisa berdampak pada harga bahan bakar minyak (BBM) dan tarif listrik.
Terkait nilai tukar rupiah, Bhima menilai, saat ini nilai tukar masih berada pada level moderat di angka Rp 16.900 per dolar AS.
Baca Juga: Usulan RAPBN 2026: BBM Subsidi 19,05 Juta KL & LPG 3 Kg Sebesar 8,31 Juta Metrik Ton
Selanjutnya: Fly Jaya Masuk Rute Domestik, Bisnis Penerbangan Domestik Masih Menjanjikan?
Menarik Dibaca: KAI Layani 3,49 Juta Pelanggan Selama Libur Sekolah
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News