Reporter: Dwi Nur Oktaviani | Editor: Edy Can
JAKARTA. Gubernur Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Sultan Hamengkubowono X memberikan sembilan catatan penting dalam Rancangan Undang-Undang Keistimewaan Yogyakarta. Sembilan catatan itu disampaikan kepada DPR, Selasa (1/3).
Sembilan catatan itu, Pertama, Sultan menilai judul RUU tentang Keistimewaan Provinsi DIY tidak merujuk original intent pasal 18B ayat 1 dan juga tidak sesuai dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta. "Alangkah baiknya dalam judul tidak perlu dicantumkan kata provinsi," kata Sultan.
Kedua, RUU itu harusnya dicantumkan dasar filsafat Pancasila. "Justru itu harus ada, itu semestinya menjiwai seluruh produk perundang-undangan," ujar Sultan.
Ketiga, penggunaan gubernur utama bertentangan dengan UUD pasal 18 ayat 4 di mana tertulis kepala pemerintahan provinsi adalah gubernur. Bagi Sultan keberadaan gubernur utama akan menjadi kekuasaan dualis.
Keempat, masih dalam hal penggunaan nomenklatur Gubernur Utama dan Wakil Gubernur Utama dianggap mengandung risiko hukum yang sangat besar bagi eksistensi keistimewaan DIY. "Manakala ada pihak-pihak yang melakukan yudicial review ke Mahkamah Konstitusi terhadap Gubernur Utama dan Wakil Gubernur Utama dan dinyatakan menang (dikabulkan) maka pada saat bersama DIY hilang," imbuhnya.
Kelima, pasal 1 perihal Peraturan Daerah Istimewa Provinsi DIY (Perdais) tidak sesuai alias bukan ciri khas asli Keistimewaan DIY. Menurut Sultan alangkah tepatnya jika diatur dengan peraturan daerah biasa. "Seperti yang sebagaimana yang telah berjalan selama ini," tambahnya.
Keenam, pada bab II Batas dan Pembagian Wilayah, pasal 2 ayat 1 huruf b disebutkan bahwa sebelah timur dengan Kabupaten Klaten Provinsi Jawa Tengah. Padahal, bagi Sultan secara riil itu berbatasan juga dengan Kabupaten Sukoharjo dan Kabupaten Wonogiri.
Ketujuh, tentang Pertanahan dan Penataan Ruang, pasal 26 ayat 1. Disebutkan Kasultan dan Pakualaman ditetapkan sebagai Badan Hukum. "Bunyi pasal itu tidak sinkron dengan bunyi penjelasannya yang menyebutkan sebagai Badan Hukum Kebudayaan," kata Sultan.
Kedelapan, Sultan mengatakan jika Kasultanan dan Kadipaten ditetapkan sebagai Badan Hukum, maka ada pertanyaan selanjutnya apakah sebagai badan hukum privat atau publik. "Akan lebih tepat kalau Kansultan dan Kadipaten ditegaskan sebagai subyek hak atas tanah," tegasnya.
Kesembilan, Sultan menilai penggunaan terminologi pembagian kekuasaan pada pasal 5 ayat 2 tidak tepat. Bagi Sultan prinsip pemerintah sudah berada pada cabang kekuasaan eksekutif.
Sultan mengatakan sembilan catatan penting di atas dapat memberikan sinyal bahwa pembahasan RUUK akan dapat berjalan dengan maksimal.
Ia pun mengajak segenap pihak untuk berpikir jernih dalam melihat Keistimewaan DIY. Karena Sultan mengatakan apa yang terjadi di DIY merupakan kebiasaan yang telah menjadi hukum tetap.
Sultan menghimbau agar rancangan tersebut wajib memperhatikan dan mengikuti umat yang telah merasa nyaman dengan kebiasaan yang berlaku dalam tatanan sosial-politik di DIY. Jika ingin mengubah tradisi yang telah mapan, dia mengatakan pemerintah harus mampu menjelaskan apakah yang berlaku selama ini telah membahayakan bagi keselamatan NKRI dan kelestarian DIY. "Apabila tidak bisa membuktikan, maka telah melanggar prinsip tasbarruful imami manutbun bimashalihil ummah," tutupnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News