Reporter: Sabrina Rhamadanty | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Untuk meredam dampak dari penerapan tarif resiprokal (timbal balik) oleh Amerika Serikat (AS), pemerintah Indonesia tengah menempuh jalur negosiasi dagang.
Salah satu strateginya adalah dengan meningkatkan impor Liquified Petroleum Gas (LPG) dan minyak dari Negeri Paman Sam.
Namun, langkah ini mendapat sejumlah catatan dari para ahli energi.
Anggota Dewan Energi Nasional (DEN) periode 2020–2024 Satya Widya Yudha mengingatkan bahwa pemerintah perlu mempertimbangkan secara matang biaya logistik yang timbul dari pengiriman LPG dan minyak mentah asal AS.
Baca Juga: Indonesia Negosiasi Tarif Impor dengan AS, Ini Emiten yang Diuntungkan
Dari sisi LPG, Satya menjelaskan bahwa harga kontrak di AS mengacu pada harga spot Mont Belvieu, yang cenderung lebih rendah dibandingkan harga LPG dari Timur Tengah yang mengacu pada CP (contract price) Aramco.
“Dari segi harga, CP Aramco secara Free on Board (FOB) masih lebih tinggi dibanding harga AS yang mengacu Mont Belvieu,” ujar Satya kepada Kontan, Minggu (20/4).
Meski demikian, menurutnya, jarak tempuh pengiriman dari AS yang lebih jauh menjadi tantangan tersendiri.
Pengiriman LPG dari AS memerlukan waktu sekitar satu bulan, sementara dari Timur Tengah hanya dua minggu. Ini mempengaruhi perencanaan cadangan energi nasional.
Impor Minyak: Logistik Jadi Tantangan
Terkait impor minyak mentah, Satya mengatakan bahwa baik minyak asal AS (mengacu pada indeks WTI) maupun dari kawasan lain (mengacu pada Brent), harga pasarnya relatif setara jika jenisnya sama.
“Pakai Brent atau WTI sama saja, karena acuan dunia untuk crude oil dengan spesifikasi yang sama tidak jauh berbeda,” ujarnya.
Namun, biaya logistik impor dari AS berpotensi lebih tinggi. Meskipun demikian, Satya menilai hal ini bisa dikompensasi jika pengolahan minyak di dalam negeri dilakukan secara efisien sehingga margin dapat diperbesar.
Baca Juga: Hasil Negosiasi Pemerintah RI dengan AS akan Diputuskan dalam 60 Hari ke Depan
Pertimbangan Diplomasi Energi
Sementara itu, Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum Energi dan Pertambangan (Pushep) Bisman Bachtiar menekankan, pentingnya pendekatan diplomatik dalam pengalihan impor dari Timur Tengah ke AS.
“Jika Indonesia lihai dalam menjalin komunikasi dan menyampaikan argumentasi yang tepat, maka relasi bilateral dengan negara-negara Timur Tengah tetap dapat dijaga,” ujarnya.
Langkah peningkatan impor LPG dan minyak dari AS ini merupakan bagian dari strategi pemerintah untuk menekan defisit neraca dagang Indonesia dengan AS yang saat ini mencapai US$ 14,6 miliar.
Sebelumnya, AS menetapkan tarif resiprokal sebesar 32% terhadap produk asal Indonesia.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto telah mengungkap strategi ini dalam beberapa kesempatan, dan diamini oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia.
“Kami mengusulkan untuk menambah kuota impor minyak dan LPG dari Amerika, totalnya bisa mencapai lebih dari US$ 10 miliar,” ujar Bahlil dalam konferensi Global Hydrogen Summit 2025 di Jakarta, Selasa (15/4).
Baca Juga: Negosiasi Tarif dengan AS, Pemerintah Harus Perhatikan Industri Dalam Negeri
Lebih lanjut, Bahlil mengungkapkan bahwa saat ini porsi impor LPG Indonesia dari AS telah mencapai sekitar 54%, dan akan ditingkatkan hingga 80–85%.
“Dan itu akan kita naikkan sekitar 80% sampai 85%,” kata Bahlil di Kompleks Istana Kepresidenan Jakarta, Kamis (17/4).
Sementara itu, porsi impor minyak mentah (crude oil) dari AS saat ini masih di bawah 4%, dan ditargetkan naik hingga lebih dari 40%.
“BBM juga demikian. Impor BBM dari AS saat ini masih sangat kecil. Nantinya, detail teknisnya akan dibahas lebih lanjut dengan tim teknis dan Pertamina,” pungkasnya.
Selanjutnya: 10 Makanan Tinggi Purin Ini Meningkatkan Risiko Asam Urat & Merusak Sendi lo
Menarik Dibaca: 10 Makanan Tinggi Purin Ini Meningkatkan Risiko Asam Urat & Merusak Sendi lo
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News