Reporter: Grace Olivia | Editor: Handoyo .
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pembayaran bunga utang pemerintah terus mengalami kenaikan dari tahun ke tahun. Selain karena nominal outstanding utang yang meningkat, kenaikan bunga utang juga akibat tingkat imbal hasil surat utang pemerintah yang terbilang tinggi.
Menteri Keuangan Sri Mulyani tak menampik, pembayaran bunga utang pemerintah memang terus meningkat. "Karena memang nominal uangnya naik, ya, memang naik, itu satu hal," ujarnya, Selasa (29/1).
Kendati begitu, Sri Mulyani menjelaskan, kenaikan pembayaran bunga utang mesti dilihat secara kontekstual pula. Ia mengingatkan, pada tahun 2014, perekonomian global berada dalam fase pelonggaran kebijakan moneter (monetary policy easing).
Selain itu, posisi outstanding utang pemerintah pada tahun itu juga masih lebih kecil. Berdasarkan data APBN, utang pemerintah pada akhir 2014 baru sebesar Rp 2.608,7 triliun. Sementara, per akhir Desember lalu, utang pemerintah sudah naik menjadi sebesar Rp 4.418,3 triliun.
"Maka pasti dengan stok utang yang lebih kecil dan suku bunga rata-rata internasional dan dalam negeri yang rendahm ya pasti pembayaran bunganya lebih rendah juga," imbuh Sri Mulyani.
Hal tersebut berbeda dengan kondisi perekonomian di 2018 hingga saat ini. Selain nominal utang yang lebih tinggi, suku bunga acuan dunia maupun Bank Indonesia pun tengah meningkat. Sepanjang tahun lalu saja, BI telah mengerek 7 Days Reverse Repo Rate (7-DRRR) sebanyak enam kali sebesar 175 basis poin ke level 6,0% hingga saat ini.
Di sisi lain, Ekonom Senior Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Faisal Basri, sebelumnya, mengkritik pemerintah lantaran beban pembayaran bunga utang terhadap APBN yang terus meningkat.
Mengacu data APBN, pembayaran bunga utang pemerintah di 2018 mencapai Rp 258,09 triliun. Angka pembayaran bunga utang pemerintah tersebut mencatat kenaikan 93,4% dari posisi di tahun 2014 lalu yang hanya sebesar Rp 133,44 triliun.
"Pembayaran bunga utang pada 2014 baru mencapai 7,5% dari total belanja negara dan 11,1% dari belanja pemerintah pusat. Tahun 2018, masing-masing naik menjadi 11,7% dan 17,9%," terang Faisal.
Faisal memperbandingkan kondisi ini dengan Amerika Serikat (AS) yang hanya mengalokasikan pembayaran bunga utangnya sebesar 7% dari belanja total pada tahun anggaran 2018. Padahal rasio utang AS jauh lebih tinggi dari Indonesia yaitu sekitar 105% dari produk domestik bruto (PDB).
Selain itu, Faisal juga mengkritisi pertumbuhan pembayaran bunga utang yang tak sejalan dengan pertumbuhan belanja modal. Belanja modal pemerintah di periode 2014-2018 hanya tumbuh 25,5%. "Belanja untuk pembayaran bunga utang lah yang tumbuh paling tinggi, lebih dari tiga setengah kali pertumbuhan belanja modal," tuturnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News