Reporter: Grace Olivia | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kementerian Keuangan (Kemkeu) masih terus melancarkan strategi front-loading untuk pembiayaan defisit anggaran tahun 2019. Di awal tahun ini, pemerintah menerbitkan Surat Berharga Negara (SBN) dengan nilai besar untuk mengantisipasi berlanjutnya tren kenaikan suku bunga acuan ke depan.
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kemkeu, realisasi penerbitan SBN neto per 23 Januari mencapai Rp 102,66 triliun. Realisasi tersebut memenuhi sekitar 26,39% dari target penerbitan SBN neto yang dipatok tahun ini yakni Rp 388,96 triliun.
Jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya, realisasi penerbitan SBN neto pemerintah lebih tinggi. Per 31 Januari 2018, nilai SBN neto yang direalisasikan pemerintah hanya sebesar Rp 53,38 triliun atau 12,88% dari target penerbitan SBN neto tahun lalu yang mencapai Rp 414,42 triliun.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menjelaskan, pemerintah terus memerhatikan dan mengantisipasi kondisi pasar di dalam negeri maupun di luar negeri dalam rangka pembiayaan defisit anggaran 2019. Terutama dalam mengantisipasi potensi peningkatan cost of fund seiring dengan tren suku bunga acuan global maupun dalam negeri yang masih meningkat.
"Dari luar negeri, seperti The Fed, sudah menaikkan suku bunga dan Bank Indonesia juga melakukan adjustment. Kami tentu harus melakukan strategi bagaimana mendapatkan pendanaan yang paling aman dan paling murah," ujar Sri Mulyani dalam konferensi pers Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK), Selasa (29/1).
Direktur Surat Utang Negara DJPPR Loto Srinaita Ginting sebelumnya mengungkapkan, pemerintah masih menerapkan strategi frontloading di awal tahun. Sepanjang paruh pertama 2019, penerbitan SBN diproyeksi mencapai 50% - 60% dari target SBN bruto yang sebesar Rp 825,7 triliun.
Selain mengantisipasi kondisi pasar, pemerintah juga melakukan diversifikasi instrumen dan terus memperdalam pasar domestik dengan menambah basis investor. Hal ini terlihat dari rencana pemerintah melakukan 10 kali penerbitan SBN untuk ritel sepanjang tahun ini.
"Kita sekarang masuk ke ritel juga karena kami ingin meningkatkan basis investor dari SUN. Kalau basis investor makin luas, terutama di kelompok milenial, maka kita sudah membuat komunitas investor di Indonesia lebih kuat sehingga tidak mudah terombang ambing apabila ada sentimen global," tutur Sri Mulyani.
Ambil contoh, jumlah investor penerbitan Saving Bond Ritel (SBR) 005 pada Januari ini didominasi sekitar 50,61% oleh kelompok berusia 19 tahun sampai 39 tahun atau yang disebut dengan milenial. Tingkat keritelannya pun membaik ditunjukkand engan rata-rata volume pemesanan yang sebesar Rp 236,12 juta, dibandingkan dengan SBR003 dan SBR004 yang masing-masing sebesar Rp 252,30 juta dan Rp 337,90juta.
Di sisi lain, ia meyakini bahwa upaya pembiayaan untuk APBN tetap akan memerhatikan kondisi likuiditas di pasar keuangan. "BI selalu memantau kami dalam melakukan financing sehingga memastikan bahwa financing APBN tidak akan membuat pasar menjadi kering," lanjutnya.
Selain itu, Kemekeu juga berupaya terus menjaga agar defisit APBN semakin rendah di setiap tahunnya. Dengan begitu, kebutuhan pembiayaan pun semakin kecil sehingga pasar tetap biasa menyerap pembiayaan yang dilakukan pemerintah maupun swasta secara seimbang.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News