Reporter: Grace Olivia | Editor: Anna Suci Perwitasari
Di samping supply and demand shock, S&P juga memperingatkan adanya risiko lain yang akan memperbesar potensi kerugian Asia Pasifik yaitu kondisi pengetatan finansial di kawasan.
"Volatilitas aset-aset telah meningkat, harga saham turun, dan penyebaran kredit lebih luas. Jika ini membuat bank lebih berhati-hati dalam pemberian pinjaman mereka, ini bisa memperkuat guncangan ekonomi riil di Asia Pasifik,” tulis Kepala Ekonom Asia Pasifik S&P Shaun Roache.
Minimnya pembiayaan eksternal di tengah ketatnya pasar keuangan berpotensi mengerek defisit neraca transaksi berjalan (CAD). Akibatnya, akan diperlukan kebijakan pengetatan suku bunga moneter, pengetatan fiskal, atau depresiasi kurs mata uang.
Baca Juga: Wall Street tergelincir akibat kekhawatiran akan wabah virus corona kian meluas
Pada kondisi seperti ini, risiko yang paling aman diambil untuk mengatasi CAD adalah depresiasi kurs mata uang yang menurut S&P akan cukup dalam.
“Negara emerging economies di Asia yang mengalami CAD, inflasi yang tidak terjangkar, serta pasar valas yang mismatched akan terdesak untuk mengambil kebijakan pro siklus yang dampaknya bisa memperburuk pelemahan ekonomi dan menimbulkan kerugian lebih besar di seluruh sektor,” tutur Shaun.
Dalam analisis terbaru ini, S&P memprediksi pertumbuhan PDB Asia Pasifik tanpa China (APAC ex-China) hanya akan mencapai 3,3% di 2020, atau lebih rendah dari proyeksi pada Desember lalu yang sebesar 4%.
S&P juga memangkas proyeksi pertumbuhan Indonesia dari sebelumnya 5,1% menjadi hanya 4,7% di 2020.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News