Reporter: Grace Olivia | Editor: Anna Suci Perwitasari
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. S&P Global Ratings memperkirakan dampak terbesar dari merebaknya wabah virus corona (Covid-19) akan paling terasa di kawasan Asia Pasifik.
Proyeksinya, total kerugian Asia Pasifik akan mencapai US$ 211 miliar yang tersebar pada sejumlah sektor seperti rumah tangga, korporasi, perbankan, dan pemerintah.
Merebaknya virus corona menciptakan supply and demand shock pada perekonomian kawasan, khususnya Jepang dan Korea Selatan.
Baca Juga: Skenario terburuk, ADB proyeksi dunia kehilangan US$ 347 miliar akibat virus corona
Shock pada permintaan berpusat pada konsumen yang tidak mampu atau tidak mau menjelajah tempat umum atau bepergian ke luar negeri. Guncangan pasokan berkaitan dengan ketidakmampuan perusahaan untuk melanjutkan operasi karena disrupsi fasilitas dan pasokan akibat pembatasan pemerintah atau karena adanya kasus infeksi karyawan.
Ini juga sejalan dengan melemahnya permintaan eksternal dari negara-negara seperti Amerika Serikat (AS) dan Eropa yang diproyeksi akan mengalami perlambatan ekonomi pula pada tahun ini.
S&P juga memandang, pukulan pada pertumbuhan PDB China di kuartal pertama tahun ini akan lebih keras dari yang perkiraan sebelumnya. PDB China diproyeksi hanya akan tumbuh 4,8% sepanjang 2020, lebih rendah dari proyeksi sebelumnya pada level 5%. Ini dengan asumsi puncak wabah virus corona terjadi pada Maret dan mulai mereda memasuki kuartal kedua.
Di samping supply and demand shock, S&P juga memperingatkan adanya risiko lain yang akan memperbesar potensi kerugian Asia Pasifik yaitu kondisi pengetatan finansial di kawasan.
"Volatilitas aset-aset telah meningkat, harga saham turun, dan penyebaran kredit lebih luas. Jika ini membuat bank lebih berhati-hati dalam pemberian pinjaman mereka, ini bisa memperkuat guncangan ekonomi riil di Asia Pasifik,” tulis Kepala Ekonom Asia Pasifik S&P Shaun Roache.
Minimnya pembiayaan eksternal di tengah ketatnya pasar keuangan berpotensi mengerek defisit neraca transaksi berjalan (CAD). Akibatnya, akan diperlukan kebijakan pengetatan suku bunga moneter, pengetatan fiskal, atau depresiasi kurs mata uang.
Baca Juga: Wall Street tergelincir akibat kekhawatiran akan wabah virus corona kian meluas
Pada kondisi seperti ini, risiko yang paling aman diambil untuk mengatasi CAD adalah depresiasi kurs mata uang yang menurut S&P akan cukup dalam.
“Negara emerging economies di Asia yang mengalami CAD, inflasi yang tidak terjangkar, serta pasar valas yang mismatched akan terdesak untuk mengambil kebijakan pro siklus yang dampaknya bisa memperburuk pelemahan ekonomi dan menimbulkan kerugian lebih besar di seluruh sektor,” tutur Shaun.
Dalam analisis terbaru ini, S&P memprediksi pertumbuhan PDB Asia Pasifik tanpa China (APAC ex-China) hanya akan mencapai 3,3% di 2020, atau lebih rendah dari proyeksi pada Desember lalu yang sebesar 4%.
S&P juga memangkas proyeksi pertumbuhan Indonesia dari sebelumnya 5,1% menjadi hanya 4,7% di 2020.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News