Reporter: Yusuf Imam Santoso | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah saat ini tengah mengajukan rencana skema kebijakan pajak pertambahan nilai (PPN) yang terdiri dari empat tarif. Adapun ketentuan yang berlaku saat ini di Indonesia adalah tarif tunggal yakni sebesar 10%.
Rencana kebijakan tersebut tertuang dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Kelima atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
Beleid ini kini tengah dibahas oleh Kementerian Keuangan (Kemenkeu) bersama Panitia Kerja (Panja) RUU KUP Komisi XI DPR RI.
Pertama, general rate yakni tarif yang berlaku secara umum sebesar 12%. Pemerintah menyebut adanya kenaikan 2% atas tarif PPN yang berlaku saat ini merupakan kompensasi karena pemerintah telah menurunkan tarif pajak penghasilan (PPh) Badan.
Baca Juga: Ini penjelasan lengkap Ditjen Pajak soal skema 4 tarif PPN dalam RUU KUP
Sejak tahun lalu tarif PPh Badan menjadi 22%, sebelumnya 25%. Kemudian sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 terkait kebijakan keuangan negara akibat pandemi virus corona, tarif PPh Badan akan diturunkan lagi menjadi 20% pada tahun 2022.
Toh pemerintah menilai, dengan tarif PPN baru, masih lebih rendah dibandingkan dengan rerata negara-negara yang tergabung dalam Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) sebesar 19% dan negara-negara seperti Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan (BRICS) sebesar 17%.
Kedua, lower rate PPN sebesar 5%-7% atas barang dan jasa yang dikonsumsi masyarakat. Tarif 5% rencananya diperuntukan atas barang kebutuhan pangan dasar rumah tangga yang merupakan konsumsi paling besar masyarakat.
Kemudian, tarif 7% atas jasa tertentu untuk menjaga jasa terkait tetap berkualitas dan terjangkau. Misalnya jasa pendidikan dan angkutan penumpang.
Ketiga, higher rate sebesar 15%-25% untuk barang yang tergolong mewah/sangat mewah seperti rumah dan apartemen mewah, pesawat terbang, dan yacht. Selain itu, tarif tersebut juga bakal berlaku bagi barang mewah lainnya seperti tas, sepatu, arloji, dan berlian.
Baca Juga: Kata Toyota Motor perihal perubahan PPnBM menjadi PPN
Tujuan pemerintah mengajukan adanya higher rate PPN untuk memberikan keadilan atas barang-barang yang dikonsumsi oleh masyarakat ekonomi kelas atas atau kaya raya.
Keempat, final rate sebesar 1% bagi pengusaha atau kegiatan tertentu. Misalnya, pengusaha kena pajak (PKP) dengan peredaran usaha maksimal Rp 1,8 miliar per tahun cukup setor PPN 1% dari peredaran usahanya.
Ketentuan PPN Final juga dirancang untuk PKP dengan kegiatan usaha tertentu seperti produk pertanian karena tidak memiliki pajak masukan.
Pengamat Pajak Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar mengatakan adanya rencana kebutuhan pokok sebagai BKP yang kena PPN akan memiliki tantangan dalam kesiapan administrasi.
“Apakah sektor pertanian siap dari segi administrasi? Untuk itu, Pertimbangannya tak hanya kondisi ekonomi tp juga kesiapan administrasi pengusaha,” kata Fajry kepada Kontan.co.id, Kamis (2/9).
Menurut Fajry, kalau barang kebutuhan pokok dijadikan objek PPN, implementasinya tidak di tahun 2022. Sebab, dia menilai pengusaha perlu persiapan. Apalagi sektor pertanian sebagian besar pengusaha perorangan.
Sementara itu, Pengamat Pajak Danny Darussalam Tax Center (DDTC) Bawono Kristiaji mengatakan terkait PPN barang kebutuhan pokok pada dasarnya, terdapat tren di berbagai negara untuk mendesain sistem PPN yang lebih adil sekaligus menjamin netralitasnya.
Baca Juga: Gaikindo akan lakukan analisa mendalam atas rencana penghapusan skema PPnBM
Dalam konteks keadilan di RUU KUP, Bawono menilai hal tersebut dalam perlakuan PPN khusus atas barang atau jasa yang dikonsumsi masyarakat banyak dan/atau signifikan bagi masyarakat berpenghasilan rendah.
Namun demikian, Bawoni menilai perlakuan khusus terseebut juga dievaluasi untuk melihat sejauh mana perlakuan khusus tersebut dinikmati oleh pihak yang tepat.
Sedangkan, dalam konteks menjamin netralitas, terdapat tren memperluas basis pajak dengan mengurangi pengecualian dan pembebasan PPN, termasuk dalam RUU KUP yang dicanangkan oleh pemerintah Indonesia.
Hal tersebut juga dalam rangka mengurangi tax expenditure yang kian meningkat. Dus, jalan tengah dari keduanya umumnya merujuk pada pengenaan PPN multitarif.
“Artinya barang kebutuhan pokok tetap menjadi objek PPN, tapi diberikan tarif yang lebih rendah. Jadi apa yang menjadi rencana pemerintah sesungguhnya telah selaras dengan international best practices,” ujar Bawono kepada Kontan.co.id, Kamis (2/9).
Bawono menegaskan secara waktu, jika pengelolaan kesehatan dan pemulihan ekonomi tahun ini berjalan baik, penerapan skemanbaru PPN bisa dilakukan di 2022. Namun demikian, apabila belum sepenuhnya pulih, maksimal bisa dilakukan 2023.
Selanjutnya: Soal rencana penghapusan skema PPnBM, ini jawaban Gaikindo
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News