Reporter: Grace Olivia | Editor: Wahyu T.Rahmawati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Uni Eropa akan segera memberlakukan aturan Delegated Regulation yang merupakan turunan dari Renewable Energy Directive II (RED II). Aturan tersebut menempatkan kelapa sawit sebagai komoditas berisiko tinggi terhadap perusakan hutan (deforestasi) atau indirect land-use change (ILUC).
Sepulang dari lawatan diplomasi ke markas Uni Eropa di Brussel, Belgia, pada 8-9 April lalu, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution, menyimpulkan bahwa kebijakan diskriminatif terhadap minyak sawit mentah (CPO) tersebut akibat Uni Eropa merasa kalah saing dengan Indonesia dan negara penghasil sawit terbesar lainnya.
"Dalam pertemuan, kami menyampaikan bahwa ini adalah tindakan diskriminatif, double-standard, dan proteksionis. Dasar-dasar kriteria kebijakan itu sebetulnya tidak memuat secara memadai apa yang menjadi dampak dari kebijakan ini," tutur Darmin dalam pertemuan dengan pers di kantornya, Jumat (12/4).
Telah diketahui, ujarnya, bahwa kelapa sawit memiliki produktivitas yang jauh lebih tinggi sekitar 8 hingga 10 kali dibandingkan minyak nabati lain seperti minyak kedelai (soybean oil), minyak rapeseed, dan minyak biji bunga matahari (sunflower oil).
"Jadi memang dari situ saja bisa dilihat, Uni Eropa memang merasa kalah bersaing. Mereka tidak menghasilkan kelapa sawit sehingga mencari-cari argumentasi untuk kemudian pada satu titik, menolkan penggunaan sawit pada biofuel," tandas Darmin.
Tambah lagi, persepsi kelapa sawit di kalangan masyarakat dan konsumen Eropa sudah sangat buruk akibat kampanye yang dilakukan sejak lama dan masif.
Di Italia, Darmin mengungkap, kampanye produk bebas kelapa sawit (palm oil free) bahkan menelan biaya lima kali lebih besar dan masif daripada iklan Coca-Cola.
Staf Khusus Kementerian Luar Negeri Peter F. Gontha menambahkan, kebijakan Uni Eropa ini juga tidak konsisten dengan tujuan mencapai Sustainable Growth Developments (SDGs) di mana pengentasan kemiskinan menjadi salah satu tujuannya.
"Sesuai SDG, pembangunan berkelanjutan salah satu tujuannya adalah pengentasan kemiskinan. Jumlah pekerja kita di industri sawit ini ada 19,5 juta, lebih besar dari jumlah penduduk Belanda dan Belgia," kata Peter, Jumat (12/4).
Di samping itu, Deputi Bidang Koordinasi Kerjasama Ekonomi Internasional Kemko Perekonomian Rizal Affandi Lukman menilai, Uni Eropa akan sangat kesulitan memenuhi tujuan RED II tanpa melibatkan kelapa sawit. Menurutnya, target 14% energi terbarukan pada sektor transportasi di UE sukar terpenuhi lantaran industri di sana mengakui belum memiliki alternatif lain dari sawit untuk kebutuhan biofuel mereka.
"Lahan UE sudah sangat terbatas. Luas hutan mereka hanya separuh dari punya Indonesia. Untuk meningkatkan kebutuhan di biofuel, yang ada mereka hanya akan membabat jauh lebih banyak lahan lagi ke depan," tandas Rizal.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News