Reporter: Siti Masitoh | Editor: Tri Sulistiowati
KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Pemerintah memastikan kebijakan wajib parkir devisa hasil ekspor (DHE) sumber daya alam (SDA) 100% dimulai pada Maret 2025. Meski begitu, kebijakan tersebut bisa menuai pro dan kontra.
Ekonom Bank Danamon Hosianna Evalita Situmorang membeberkan, kebijakan DHE SDA yang wajib disimpan 100% selama satu tahun bisa membebani bahkan merugikan eksportir.
“Konversi DHE ke rupiah dapat merugikan eksportir jika nilai tukar tidak stabil,” tutur Ana sapaan akrab Hosianna kepada Kontan, Rabu (22/1).
Ana memperkirakan nilai tukar rupiah masih akan bertengger di level Rp 16.000 per dollar AS. Untuk diketahui, Rabu (22/1), rupiah spot berada di level Rp 16.324 per dolar Amerika Serikat (AS). Rupiah memang menguat 0,12% dibanding penutupan hari sebelumnya yang berada di level Rp 16.343 per dolar AS.
Baca Juga: Menanti Aturan Baru DHE Memperkuat Otot Rupiah
Sejalan dengan itu, Ana menilai, kebijakan DHE SDA ini bisa memperkuat stabilitas nilai tukar rupiah dan mendukung perekonomian dalam jangka pendek. Ini didorong dengan adanya peningkatan cadangan devisa.
Dari sisi pendalaman pasar keuangan, bisa memperkuat likuiditas domestik melalui penempatan DHE dalam instrumen lokal.
“Insentif fiskal pajak bunga 0% dan akses kredit back-to-back memberikan dukungan finansial kepada eksportir,” ungkapnya.
Sementara itu, dari sisi iklim investasi, kebijakan ini dinilai bisa meningkatkan kepercayaan investor asing karena memberikan gambaran stabilitas ekonomi yang lebih terjaga.
Sebelumnya, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Eddy Martono, menilai kebijakan ini akan meningkatkan biaya modal kerja yang signifikan bagi para eksportir.
Menurutnya, walaupun bunga yang ditawarkan untuk penempatan DHE lebih tinggi dari bunga deposito dolar AS saat ini, yaitu sekitar 2%-3% per tahun, perusahaan tetap harus meminjam dana untuk menutupi modal kerja yang tertahan.
"Dan saat ini kalau back to back dengan deposito bunga pinjaman ditambah 1,5% dari bunga deposito, ujung-ujungnya perusahaan tetap harus mengeluarkan biaya tambahan," ujar Eddy kepada Kontan.co.id, Selasa (21/1).
Pendapat serupa juga disampaikan oleh Chandra Wahjudi, Wakil Ketua Bidang Kebijakan Publik Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menilai kebijakan tersebut membawa tantangan tersendiri, terutama terkait biaya tambahan yang lebih besar dari insentif yang ditawarkan.
"Dan lagi dengan cash collateral tentunya ada bunga yang harus dibayarkan. Ini pastinya akan lebih besar dari insentif yang diberikan. Artinya akan ada extra cost yang dikeluarkan oleh eksportir. Setiap sektor memiliki tantangan dan profit margin yang berbeda. Ini harus dipertimbangkan lebih lagi," kata Chandra.
Chandra berharap pemerintah dapat mengkaji kembali aturan tersebut agar tidak memberatkan sektor ekspor yang menjadi andalan devisa negara.
Menurutnya, yang dibutuhkan eksportir adalah insentif yang mendukung likuiditas tanpa menambah beban biaya.
Baca Juga: Rupiah Diprediksi Lanjut Menguat Pada Kamis (23/1), Cermati Sentimen Pendorongnya
Selanjutnya: Hasil Liga Champions: Arsenal Menang 3-0, Amankan Tempat di 16 Besar
Menarik Dibaca: Ini Cara Cepat Dapat Pekerjaan di 2025!
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News