kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45912,11   2,80   0.31%
  • EMAS1.343.000 -0,81%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Simak tiga kebijakan baru PPN dalam UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan


Kamis, 14 Oktober 2021 / 19:33 WIB
Simak tiga kebijakan baru PPN dalam UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan
ILUSTRASI. Dirjen Pajak Suryo Utomo di Jakarta, Selasa (11/02). Simak tiga kebijakan baru PPN dalam UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan.


Reporter: Yusuf Imam Santoso | Editor: Noverius Laoli

KONTAN.CO.ID -  JAKARTA. Pemerintah tengah mendorong reformasi APBN untuk mendukung reformasi struktural. Salah satunya adalah di bidang pendapatan negara melalui disahkannya Undang-Undang (UU) tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).

Di antara berbagai isu penting di dalamnya, UU HPP mereformasi sistem Pajak Pertambahan Nilai (PPN). 

Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Suryo Utomo mengungkapkan, pokok perubahan PPN dalam UU HPP yang krusial antara lain pertama, perluasan basis PPN melalui refocusing pengecualian dan fasilitas PPN, kedua, kenaikan tarif PPN secara bertahap, dan ketiga penerapan PPN final.

Lebih lanjut, Suryo mengatakan bahwa perluasan basis PPN melalui refocusing pengecualian dan fasilitas PPN ditujukan agar fasilitas PPN lebih adil dan tepat sasaran. 

Baca Juga: UU HPP bagian strategi Indonesia menjadi negara maju di tahun 2045

Dalam UU HPP, perluasan basis PPN untuk optimalisasi penerimaan negara tetap mempertimbangkan asas keadilan dan kemanfaatan. Khususnya dalam memajukan kesejahteraan umum dan asas kepentingan nasional. Hal ini sejalan dengan prinsip perpajakan yang berkeadilan dan berkepastian hukum.

Menurut Suryo, peluang Indonesia untuk mewujudkan visi menjadi negara maju di tahun 2045 sangat terbuka lebar apabila mampu mengkapitalisasi arah perubahan struktur demografi yang cukup menguntungkan saat ini. Hal ini ditandai dengan relatif dominannya kelompok usia produktif dan menurunnya angka ketergantungan penduduk.

Selain itu, bertumbuhnya kelompok kelas menengah dengan proporsi konsumsi yang cukup besar juga menjadi peluang yang sangat penting sebagai pengungkit pertumbuhan ekonomi. Dalam konteks ini, Suryo menjelaskan UU HPP menjadi cukup krusial untuk memanfaatkan peluang bertumbuhnya kelompok middle-class tersebut.

"Penyesuaian peraturan PPN pada UU HPP sejatinya juga mempertimbangkan peluang naiknya konsumsi masyarakat yang didorong oleh bertumbuhnya kelompok middle-class tersebut," kata Suryo, Kamis (14/10).

Baca Juga: Pemerintah akan meningkatkan penerimaan negara dan pertajam belanja pada 2023

Sementara itu, Suryo mengatakan dengan mempertimbangkan aspirasi masyarakat, barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan masyarakat banyak, jasa kesehatan, jasa pendidikan, jasa pelayanan sosial, dan beberapa jenis jasa lainnya diberikan fasilitas pembebasan PPN.

"Dengan demikian, meskipun merupakan barang dan jasa kena pajak, masyarakat berpenghasilan rendah sampai menengah tetap tidak akan membayar PPN atas konsumsi barang dan jasa tersebut seperti halnya yang sudah mereka nikmati saat ini," ujarnya.

Adapun Kemenkeu mencatat fasilitas PPN mendominasi belanja perpajakan (tax expenditure) setiap tahunnya. Pada tahun 2020 belanja perpajakan PPN mencapai Rp 140,4 triliun atau sekitar 60% dari total belanja perpajakan sebesar Rp 234,9 triliun. Adapun sebesar Rp 40,6 triliun berasal dari kebijakan pengecualian pemungutan PPN oleh pengusaha kecil (threshold PPN).

Sementara itu, kenaikan tarif PPN dilakukan secara bertahap, yaitu menjadi 11% mulai 1 April 2022 dan menjadi 12% paling lambat 1 Januari 2025. Hal ini dilakukan dengan mempertimbangkan kondisi ekonomi yang semakin membaik serta untuk mengoptimalkan penerimaan negara dengan tetap mewujudkan sistem perpajakan yang berkeadilan dan berkepastian hukum.

Merujuk kepada tarif PPN negara-negara lain, tarif PPN di Indonesia relatif lebih rendah dari rata-rata dunia sebesar 15,4%. Sekaligus lebih rendah dari Filipina (12%), Tiongkok (13%), Arab Saudi (15%), Pakistan (17%) dan India (18%).

Baca Juga: Progam pengungkapan sukarela pajak tambah investasi masuk ke Indonesia

Di samping itu, pemungutan PPN juga akan diberikan kepada jenis barang atau jasa tertentu atau sektor usaha tertentu melalui penerapan tarif PPN final. Misalnya 1%, 2%, atau 3% dari peredaran usaha. Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan tarif PPN dilakukan dengan tetap mempertimbangkan aspek kemudahan administrasi seperti yang selama ini telah dilakukan pemerintah.

"Pemerintah juga terus berkomitmen untuk melakukan penguatan berbagai bantuan sosial dan program perlindungan sosial lainnya untuk menjamin terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan dasar keluarga miskin dan rentan. Seperti untuk pangan, pendidikan, dan kesehatan sebagai bagian dari akselerasi program pemberdayaan dan pengentasan kemiskinan," kata Suryo.

Selanjutnya: Kehadiran UU HPP dinilai relevan untuk merespons perekonomian nasional

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Success in B2B Selling Omzet Meningkat dengan Digital Marketing #BisnisJangkaPanjang, #TanpaCoding, #PraktekLangsung

[X]
×