kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.222.000 0,41%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Kehadiran UU HPP dinilai relevan untuk merespons perekonomian nasional


Kamis, 14 Oktober 2021 / 10:55 WIB
Kehadiran UU HPP dinilai relevan untuk merespons perekonomian nasional
ILUSTRASI. Kehadiran UU HPP dinilai relevan untuk merespons perekonomian nasional


Reporter: Noverius Laoli | Editor: Noverius Laoli

KONTAN.CO.ID -  JAKARTA. Pengesahan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) dinilai relevan dengan kondisi perekonomian nasional saat ini. 

Diharapkan regulasi ini dapat menjadi jawaban untuk memenuhi kebutuhan terhadap peningkatan kemampuan fiskal demi mengongkosi pembangunan jangka panjang.  Selanjutnya lagi, hal yang tidak kalah penting kehadiran UU ini diharapkan dapat menjaga kesinambungan APBN.

Pemerhati ekonomi dan founder dari PT Bina Investama Global, Erick Rompas, mengatakan, alasan revisi UU itu terasa relevan dari berbagai sisi. Misalnya dari sisi tahun. Situasi perpajakan tahun 1983 dibandingkan dengan tahun ini tentu sangat-sangat berbeda. 

Baca Juga: Progam pengungkapan sukarela pajak tambah investasi masuk ke Indonesia

"Maka bukan tidak mungkin beberapa tahun ke depan, revisi terhadap UU HPP akan dilakukan demi menyesuaikan terhadap perubahan kehidupan masyarakat,” kata Erick dalam keterangannya, Kamis (14/10).

Erick mengatakan belum tuntasnya pandemi Covid-19 tentu memberikan perubahan besar bagi perekonomian nasional. Salah satu imbas yang sangat dirasakan, kata dia, pendapatan negara setoran pajak menjadi berkurang. 

“Sementara belanja negara justru meningkat untuk penanganan Covid-19 dan pemulihan ekonomi nasional. Defisit APBN pun melebar dari ketentuan semula sebesar 3% terhadap PDB. Di sinilah revisi UU ini menjadi sangat relevan,” ujarnya.

Namun demikian, Erick mengingatkan bahwa UU HPP bukan satu-satunya jalan keluar. Reformasi di sektor perpajakan, kata dia, harus terus dilakukan secara sungguh-sungguh. 

Baca Juga: Ditjen pajak akan beri kemudahan bagi UMKM untuk pungut PPN final

“Keputusan pemerintah menjadikan NIK menjadi NPWP demi efisiensi administrasi pajak jangan sampai cuma menjadi jargon semata. Ia harus benar-benar diterapkan secara adil dan transparan agar tidak mengecewakan masyarakat,” katanya mengingatkan. 

Selanjutnya, kenaikan tarif PPN menjadi 11% yang akan diberlakukan mulai 1 April 2022 dan menjadi 12% berlaku paling lambat 1 Januari 2025 laik menjadi sorotan. 
Di sini ada potensi kenaikan tarif tersebut bakal melemahkan daya beli masyarakat. Ditambah lagi, kata dia, fakta bahwa konsumsi rumah tangga merupakan motor utama pertumbuhan ekonomi.

“Oleh karenanya, pemerintah harus memastikan kenaikan tarif PPN itu tidak membebani daya beli masyarakat. Apalagi, ketidakpastian akibat pandemi Covid-19 masih besar, meskipun belakangan ini pemulihan tampak di berbagai sektor perekonomian,” tuturnya.

Selanjutnya: Prinsip Ultimum Remedium Demi Dongkrak Penerimaan Pajak

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×