kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.908.000   -6.000   -0,31%
  • USD/IDR 16.313   9,00   0,06%
  • IDX 7.211   70,83   0,99%
  • KOMPAS100 1.030   3,63   0,35%
  • LQ45 782   2,58   0,33%
  • ISSI 237   3,42   1,46%
  • IDX30 404   1,36   0,34%
  • IDXHIDIV20 465   2,39   0,52%
  • IDX80 116   0,57   0,50%
  • IDXV30 119   1,45   1,24%
  • IDXQ30 129   0,31   0,24%

Serikat buruh desak pemberlakukan Omnibus Law Cipta Kerja ditunda


Rabu, 07 Oktober 2020 / 05:50 WIB
Serikat buruh desak pemberlakukan Omnibus Law Cipta Kerja ditunda


Reporter: Ratih Waseso | Editor: Noverius Laoli

KONTAN.CO.ID -  JAKARTA. Serikat pekerja/serikat buruh di sektor ketenagalistrikan diantaranya Serikat Pekerja (SP) PLN Persero, Persatuan Pegawai (PP) Indonesia Power, SP Pembangkit Jawa-Bali (PJB), Serikat Pekerja Elektronik Elektrik Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (SPEE-FSPMI), dan Serikat Buruh Kerakyatan Indonesia (Serbuk Indonesia) menyampaikan kekecewaan terhadap sikap pemerintah dan DPR RI.

Sikap Pemerintah dan DPR RI dinilai seakan “kejar setoran” atau terburu-buru dalam mengesahkan omnibus law Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja menjadi undang-undang dalam sidang paripurna, Senin (5/10) kemarin.

Ketua Umum PP Indonesia Power PS Kuncoro menyampaikan, Omnibus Law berpotensi melanggar tafsir konstitusi, terutama dalam Subklaster Ketenagalistrikan.

Di mana putusan MK No. 111/PUU-XIII/2015, tidak digunakan sebagai rujukan pada UU Cipta Kerja. Hal ini akan mengakibatkan adanya pelanggaran Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 33 ayat (2), di mana tenaga listrik yang merupakan cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak tidak lagi dikuasai negara, yang ujungnya berpotensi akan mengakibatkan kenaikan tarif listrik ke masyarakat.

Baca Juga: Pengusaha ritel dukung pengesahan aturan Undang-Undang Cipta Kerja

Pihaknya disampaikan Kuncoro, sudah berkali-kali menyampaikan kepada pihak-pihak terkait akan dampak buruk yang ditimbulkan jika omnibus law dilakukan.

"Tetapi aspirasi dan masukan yang kami sampaikan hanya masuk telinga kiri dan keluar telinga tangan. Sebelumnya Para Wakil Rakyat telah berjanji akan menjadikan putusan MK sebagai pegangan dalam penyusunan UU Cipta Kerja, tapi nyatanya dalam pembahasan Subklaster Ketenagalistrikan janji tersebut terlupakan," kata Kuncoro dalam siaran pers yang diterima Kontan.co.id pada Selasa (6/10).

Adapunn hal nyata dari omnibus law yang paling mengancam sektor ketenagalistrikan di Indonesia adalah:

Pertama, peran DPR yang dihapuskan adalah hak dalam konsultansi Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN) yang mengakibatkan aspirasi masyarakat dan peran masyarakat dalam pembangunan ketenagalistrikan nasional, tidak tersalurkan sehingga perencanaan-perancanaan ketenagalistrikan berpotensi hanya untuk kepentingan dan keuntungan bagi pihak-pihak tertentu.

Baca Juga: Penetapan toll fee dalam UU Cipta Kerja tetap jadi wewenang BPH Migas

Kemudian RUKN sangat berperan penting penentuan harga listrik karena terkait dengan jenis energi primer yang digunakan dalam pembangkit tenaga listrik, karena harga listrik ditentukan 70% dari jenis energi primernya.

Oleh karena itu campur tangan para wakil tangan dalam kebijakan energi primer menjadi sangat penting dalam Pembahasan RUKN. Pada ujungnya tarif listrik akan berdampak juga terhadap ekonomi masyarakat.

Selanjutnya inti dari dihapusnya peran DPR dalam konsultansi Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional menyalahi prinsip check and balance dalam melaksanakan kegiatan bernegara di Indonesia.

Kedua, kembali dimasukkannya Pasal 10 Ayat (2) terkait Unbundling sektor pembangkitan, transmisi, distribusi, dan penjualan juga Pasal 11 Ayat (1) yang memperbolehkan badan usaha swasta dalam penyediaan listrik untuk kepentingan mengakibatkan menyalahi keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) berdasarkan Putusan MK No. 111/PUU-XIII/2015 bahwa Ketentuan Pasal 10 Ayat (2) dan Pasal 11 Ayat (1) tersebut tidak memiliki kekuatan Hukum.

Selain itu juga akan mengakibatkan pertimbangan MK dalam putusan tersebut adalah bahwa ketentuan-ketentuan Pasal 10 Ayat (2) dan Pasal 11 Ayat (1) tersebut menghilangkan fungsi kontrol negara dalam usaha penyediaan listrik untuk kepentingan umum yang menjadi kebutuhan vital masyarakat Indonesia dan hilangnya kedaulatan energi bagi negara.

Terakhir membuat munculnya potensi memperburuk kondisi ketenagalistrikan saat ini yang telah mengalami kelebihan pasokan listrik (oversupply) dan besarnya kewajiban pembayaran take or pay kepada pembangkit listrik swasta (TOP IPP).

Baca Juga: Ekonom nilai UU Cipta Kerja sesuai dengan harapan pengusaha

Oleh karena itu, serikat pekerja di sektor ketenagalistrikan meminta omnibus law yang sudah disahkan segera dibatalkan. Terlebih lagi, beleid ini ditolak oleh banyak elemen masyarakat. Tidak hanya buruh, tetapi juga mahasiswa, petani, nelayan, masyarakat adat, akademisi, penggiat HAM, dan sebagainya.

Presiden juga diminta oleh serikat pekerja di sektor ketenagalistrikan harus mengambil sikap tegas untuk mengeluarkan PERPPU yang menunda pemberlakukan Omnibus Law UU Cipta Kerja sampai batas waktu yang tidak ditentukan.

Selanjutnya: Pergerakan rupiah esok menanti gerakan buruh

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
[Intensive Workshop] AI-Driven Financial Analysis Executive Finance Mastery

[X]
×