kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.942.000   0   0,00%
  • USD/IDR 16.395   -20,00   -0,12%
  • IDX 6.907   -61,50   -0,88%
  • KOMPAS100 997   -14,27   -1,41%
  • LQ45 765   -9,88   -1,28%
  • ISSI 225   -2,18   -0,96%
  • IDX30 397   -4,54   -1,13%
  • IDXHIDIV20 466   -5,69   -1,21%
  • IDX80 112   -1,62   -1,42%
  • IDXV30 115   -1,15   -0,99%
  • IDXQ30 128   -1,29   -0,99%

Serapan Belanja Produktif Lambat, Ekonomi Kuartal II Bisa Makin Pelan


Minggu, 22 Juni 2025 / 14:40 WIB
Serapan Belanja Produktif Lambat, Ekonomi Kuartal II Bisa Makin Pelan
ILUSTRASI. Realisasi belanja pemerintah untuk sektor produktif kembali menunjukkan kinerja lambat hingga pertengahan tahun ini.


Reporter: Siti Masitoh | Editor: Khomarul Hidayat

KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Realisasi belanja pemerintah untuk sektor produktif kembali menunjukkan kinerja lambat hingga pertengahan tahun ini. Kondisi ini memunculkan kekhawatiran terhadap pertumbuhan ekonomi pada kuartal II-2025 yang berisiko kembali melambat, seiring minimnya dorongan dari sisi fiskal.

Kementerian Keuangan mencatat, realisasi belanja negara hingga Mei 2025 mencapai Rp 1.016,3 triliun, turun 11% year on year (yoy) atau bila dibandingkan periode sama tahun lalu yang mencapai Rp 1.145,3 triliun.

Realisasi belanja ini terdiri dari belanja pemerintah pusat mencapai Rp 694,2 triliun atau melambat 18,74% yoy, dari Rp 824,3 triliun. Serta transfer ke daerah (TKD) mencapai Rp 322 triliun, atau naik tipis 0,31% yoy dari Rp 321 triliun.

Kepala Makroekonomi dan Keuangan Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Muhammad Rizal Taufikurahman membeberkan, realisasi belanja negara yang timpang ini menunjukkan problem struktural dalam manajemen fiskal.

Baca Juga: Dorong Ekonomi, Indonesia Butuh Reformasi Pajak dan Efisiensi Belanja

Adapun beberapa realisasi belanja pemerintah pusat untuk sektor produktif yang melambat hingga Mei 2025. Diantaranya, belanja bantuan sosial yang mencapai Rp 48,8 triliun atau, melambat dari periode sama tahun lalu yang mencapai Rp 70,5 triliun.

Kemudian, belanja modal mencapai Rp 55,6 triliun, atau melambat dari periode sama tahun lalu Rp 58,4 triliun. Realisasi belanja barang mencapai Rp 97,4 triliun atau melambat dari periode sama tahun lalu yang mencapai Rp 142,1 triliun.

“Pemerintah terjebak dalam pola belanja birokrasi yang konsumtif, sementara belanja produktif justru stagnan,” tutur Rizal kepada Kontan, Minggu (22/6).

Rizal menyebut, permasalahan belanja pemerintah ini bukan sekadar soal teknis realisasi, tapi cerminan lemahnya political will atau kemauan politik untuk menjadikan APBN sebagai instrumen akselerasi pertumbuhan.

Ia juga menyoroti terkait program makan bergizi gratis (MBG) yang diplot sebagai senjata baru untuk menggairahkan ekonomi hanya menjadi jargon tanpa eksekusi nyata. Hingga 12 Juni 2025, realisasi MBG yang disalurkan oleh badan gizi nasional (BGN) hanya mencapai Rp 4,4 triliun, jauh dari target Rp 71 triliun, atau bahkan lebih jauh dari rencana pemerintah akan menambah anggaran lagi Rp 100 triliun.

Kondisi tersebut, lanjut Rizal, membuat fungsi APBN tidak efektif sebagai stimulus, dan hanya berputar pada belanja rutin tanpa daya dorong terhadap sektor riil.

“Pemerintah kini lebih sibuk mengurus agenda transisi kekuasaan (political transition) dibanding disiplin fiskal. Energi elite habis untuk konsolidasi politik, bukan konsolidasi anggaran dan impactfull programs,” ungkapnya.

Pernyataan tersebut, menurutnya, menjelaskan argumen bahwa realisasi belanja strategis sangat seret, sementara belanja pegawai rutin jalan terus bahkan terus meningkat. Padahal seharusnya dalam kondisi ekonomi seperti saat ini, justru realisasi belanja modal lebih besar dari belanja pegawai. Artinya, fokus fiskal tergeser oleh agenda kekuasaan.

Alih-alih menggunakan APBN untuk mengamankan momentum pertumbuhan, Rizal menyampaikan, pemerintah justru pemerintah abai terhadap fungsi belanja sebagai instrumen penyelamat ekonomi domestik.

Lebih lanjut, dengan pola serapan belanja seperti ini, Rizal memproyeksikan pertumbuhan kuartal II cenderung terkoreksi kontraksi. Bahkan target 5% semakin berat dicapai.

Rizal memperkirakan, pertumbuhan ekonomi kuartal II 2025 akan kisaran 4,7% hingga 4,85%, di bawah pertumbuhan ekonomi kuartal I  2025 yang sebesar 4,87%.

Menurutnya, apabila belanja produktif macet, sementara ekspor tertekan oleh pelemahan global dan konsumsi rumah tangga stagnan, bahkan investasi belum terinvasi, maka pertumbuhan ekonomi tahun ini akan terjebak di level 4,7–4,9%.

“Apalagi indikator leading consumption dan investasi belum menunjukkan tanda-tanda pemulihan yang solid. Ini alarm serius, berarti mesin pertumbuhan tinggal menyisakan deru tanpa daya 'bunyi' yang mendorong secara nyata dalam perbaikan ekonomi,” tegasnya.

Baca Juga: Belanja Perpajakan 2025 Capai Rp 515 Triliun, Ekonom: Untuk Jaga Pertumbuhan Ekonomi

Rizal mengingatkan, tanpa perubahan arah kebijakan, pola melambatnya belanja akan terus kembali terulang. Pola musiman serapan anggaran pemerintah dipaksakan di penghujung tahun, hanya untuk memenuhi kewajiban administratif, bukan untuk menciptakan dan stimulus kinerja pertumbuhan yang semakin baik.

Bahkan belanja bansos pun berpotensi digunakan lebih untuk agenda politik dibanding murni pemulihan ekonomi.

“Jika belanja pemerintah gagal menjadi stimulus yang efektif, Indonesia terancam masuk ke jebakan pertumbuhan rendah jangka menengah,” tandasnya.

Selanjutnya: Diantara Saham Emiten Ritel yang Bagi Dividen Ini, Saham Mana yang Masih Menarik?

Menarik Dibaca: iPhone 11 Pro Masih Dapat Update iOS? Yuk, Cek Jawabannya Berikut ini!

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Owe-some! Mitigasi Risiko SP2DK dan Pemeriksaan Pajak

[X]
×