kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45935,34   -28,38   -2.95%
  • EMAS1.321.000 0,46%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Sengketa piutang GWP, semua pihak diminta hormati putusan pengadilan (Ada Hak Jawab)*


Senin, 21 Oktober 2019 / 18:22 WIB
Sengketa piutang GWP, semua pihak diminta hormati putusan pengadilan (Ada Hak Jawab)*
ILUSTRASI. Symbol of law and justice, law and justice concept. By SHUTTERSTOCK Simbol hukum dan keadilan, hukum dan konsep keadilan. By SHUTTERSTOCK


Reporter: Yudho Winarto | Editor: Yudho Winarto

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kejaksaan Tinggi Bali diminta menghentikan penanganan perkara yang menjerat owner dan Direktur Utama PT Geria Wijaya Prestige (GWP/Hotel Kuta Paradiso) Harijanto Karjadi karena legal standing (alas hak) pelapor perkara tersebut saat ini tidak sah secara hukum. 

Boyamin Saiman, kuasa hukum PT GWP menegaskan, dengan putusan perkara perdata Nomor 555/Pdt.G/2018/PN Jkt. Utr, Selasa (15/10/2019), yang antara lain menyatakan bahwa Bank China Construction Bank Indonesia/Bank CCB (tergugat I) dan Tomy Winata (tergugat II) telah melakukan perbuatan melawan hukum terkait dengan pengalihan hak tagih piutang PT GWP dari Bank CCB ke TW tertanggal 12 Februari 2018, maka otomatis perkara yang menjerat kliennya menjadi bermasalah karena tidak memenuhi syarat formal atau tertolak untuk sementara sampai putusan perkara perdata itu berkekuatan hukum final (inkracht).

Baca Juga: Sengketa piutang GWP, Fireworks menang lawan Bank CCB di PN Jakut   

“Jadi sambil menunggu putusan perkara perdata itu berkekuatan hukum tetap, maka seluruh turunan perkara pidana lainnya harus di-pending. Ini artinya, perkara yang menjerat klien saya, Harijanto Karjadi, harus distop lebih dulu. Kejaksaan harus menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKP2) demi asas kepastian hukum,” katanya dalam keterangan pers tertulis, Senin (21/10).

Seperti diberitakan, setelah menerima pengalihan hak tagih piutang PT GWP dari Bank CCB pada 12 Februari 2018 melalui akta bawah tangan, Tomy Winata lewat kuasa hukumnya, Desrizal Chaniago, melaporkan kakak-beradik Hartono Karjadi dan Harijanto Karjadi pada 27 Februari 2018  ke Ditreskrimsus Polda Bali terkait dugaan memberikan keterangan palsu dalam akta otentik gadai saham dan dugaan penggelapan. Saat ini, Harijanto Karjadi menjadi tahanan Kejaksaan Tinggi Bali setelah berkas perkaranya dinyatakan P-21.

Baca Juga: Sengketa klaim piutang GWP, Ahli: Fireworks pemegang hak tagih tunggal

Peristiwa yang dilaporkan TW dan menjerat Harijanto sesungguhnya terjadi pada 14 November 2011, di mana saat itu TW sama sekali tidak mempunyai hubungan hukum dengan rapat umum pemegang saham PT GWP yang menyetujui pengalihan atau jual-beli saham milik Hartono Karjadi kepada adiknya, Sri Karjadi, yang memang saat itu masih berstatus digadaikan sebagai jaminan utang PT GWP. Fireworks sendiri telah memberikan persetujuan sebelum dilakukan peralihan saham dari Hartono Karjadi kepada Sri Karjadi.

Boyamin mengungkapkan dalam putusan perkara perdata Nomor 555 sehubungan dengan gugatan yang diajukan Fireworks Ventures Limited yang diwakili Law Firm Berman Sitompul & Partners tersebut, majelis hakim PN Jakut telah membatalkan akta pengalihan hak tagih piutang PT GWP dari Bank CCB ke TW, sekaligus menyatakan bahwa akta tersebut tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum.

Baca Juga: Ini alasan PN Jakpus menolak gugatan Tomy Winata

Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) tersebut menegaskan, putusan No. 555 itu menempatkan Fireworks sebagai satu-satunya pemegang tunggal hak tagih piutang PT GWP yang timbul dari Perjanjian Kredit No. 8, tanggal 28 November 1995 antara kreditur bank sindikasi dengan PT GWP dan Harijanto Karjadi sebagai penjamin utang tersebut.

“Dengan demikian, legal standing yang jadi dasar pelaporan perkara Harijanto Karjadi untuk sementara harus dinyatakan tidak sah atau gugur sampai putusan No. 555 berkekuatan hukum tetap,” kata Boyamin Saiman.

Baca Juga: Dibalik pemukulan yang dilakukan kuasa hukum Tomy Winata terhadap hakim

Selain melaporkan Hartono Karjadi dan Harijanto Karjadi ke Ditreskrimsus Polda Bali, TW juga diketahui mengajukan gugatan wanprestasi kepada PT GWP dengan menuntut ganti rugi lebih dari US$31 juta.

Namun gugatan dalam perkara No. 223/Pdt.G/2018/PN.Jkt.Pst. itu ditolak seluruhnya oleh majelis hakim yang diketuai Sunarso dalam sidang pembacaan putusan di PN Jakpus pada 18 Juli 2019 yang diwarnai insiden penganiayaan yang dilakukan Desrizal, kuasa hukum TW, dengan menyabetkan ikat pinggang ke hakim ketua Sunarso dan mengenai satu hakim anggota, Duta Baskara.

Perkara yang menjerat Desrizal tersebut kini tengah disidangkan di PN Jakpus. TW sendiri diketahui mengajukan banding atas putusan perkara No. 223.

*Terhadap artikel ini, Kuasa Hukum Tommy Winata (TW) Maqdir Ismail menyampaikan tanggapan sebagai berikut:

Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara Abaikan Pemerintah Negara Republik Indonesia

Jakarta. Pemerintah Negara Republik Indonesia c.q. BPPN telah diabaikan oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara sehubungan dengan sengketa kepemilikan piutang terhadap PT Geria Wijaya Prestige (“PT GWP”). Hal ini tentu memberikan preseden buruk bagi dunia usaha karena telah gagal memberikan kepastian hukum yang berkeadilan.

“Berdasarkan fakta Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara telah mengabaikan asli Surat Pemberitahuan Pengalihan Piutang PT GWP dari Pemerintah Negara Republik Indonesia c.q. BPPN kepada PT Millenium Atlantic Securities (“PT MAS”) dalam Surat BPPN Nomor 009/PMH-TPBPPN/0304 tanggal 18 Maret 2004, yang menyatakan bahwa BPPN dalam program lelang PPAK-VI tahun 2004 hanya mengalihkan tiga piutang terhadap PT GWP yang dahulu dimiliki oleh PT Bank PDFCI, PT Bank Dharmala dan PT Bank Rama kepada PT MAS, dan bukan tujuh piutang terhadap PT GWP berdasarkan Akta Kredit; Hal tersebut dapat dibaca pula dari Lampiran I Perjanjian Jual Beli Piutang antara BPPN dengan PT MAS Nomor 044/PPAK-VI/Obligor-Debitur/Tunai/0204 tanggal 23 Februari 2004" ungkap Maqdir Ismail, Kuasa Hukum TW, Senin (21/10/2019).

Maqdir Ismail menuturkan bahwa substansi pokok dalam Surat Pemberitahuan Pengalihan Piutang PT GWP dan Perjanjian Jual Beli Piutang PT GWP yang dibuat antara BPPN dengan PT MAS secara tegas tanpa keragu-raguan juga telah dikonfirmasi kebenarannya oleh Kepala Divisi Litigasi BPPN dan PT MAS selaku para pihak dalam perjanjian tersebut.

Maqdir Ismail menyebutkan pula bahwa Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara telah mengabaikan fakta pengakuan dari PT MAS yang membeli piutang dari BPPN dalam PPAK-VI, sebagaimana tercantum dalam asli Surat Pemberitahuan Pengalihan Piutang PT MAS Nomor 113/MAS/IX/2006 tanggal 18 September 2006 dan juga keterangan dari Direktur PT Profindo International Sekuritas (d/h. PT MAS), yang menyatakan bahwa PT MAS hanya membeli tiga piutang dari BPPN dalam program lelang PPAK-VI tahun 2004 berdasarkan Akta Nomor 67 dan bukan membeli tujuh piutang, untuk kemudian jumlah piutang yang sama tersebut dialihkan kembali kepada Fireworks Ventures Limited (Fireworks), yang belakangan mengaku-ngaku sebagai kreditur tunggal dari PT GWP.

“Bahkan kuasa dari Fireworks yang menandatangani perjanjian jual beli piutang dengan PT MAS telah secara tegas menyatakan piutang terhadap PT GWP yang dibeli oleh Fireworks dari PT MAS hanya terbatas pada tiga piutang yang dimiliki oleh PT Bank PDFCI, PT Bank Dharmala dan PT Bank Rama", jelasnya.

Maqdir Ismail melanjutkan, apabila institusi Pemerintah Negara Republik Indonesia telah secara semena-mena diabaikan oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara, bagaimana dunia usaha akan memperoleh keyakinan atas kepastian hukum dalam menjalankan investasinya di Indonesia.

Sebelumnya, perkara ini bermula dari adanya pemberian kredit sindikasi oleh 7 (tujuh) bank kepada PT GWP sebesar USD 17.000.000 (tujuh belas juta Dollar Amerika Serikat) berdasarkan Akta Nomor 8 tahun 1995, yang penggunaannya telah disepakati untuk pembangunan dan pengembangan Hotel Kuta Paradiso, yang berada di Jalan Kartika Plaza, Kuta, Kabupaten Badung, Provinsi Bali, dengan jangka waktu kredit 5 (lima) tahun dan akan jatuh tempo pada tanggal 28 November 2000.

Adapun ketujuh bank sindikasi yang bertindak sebagai kreditur PT GWP dengan perincian jumlah masing-masing pinjaman pokok adalah sebagai berikut:
 
a. PT Bank PDFCI sebesar USD 5.000.000 (lima juta Dollar Amerika Serikat);

b. PT Bank Rama sebesar USD 2.000.000 (dua juta Dollar Amerika Serikat);

c. PT Bank Dharmala sebesar USD 2.000.000 (dua juta Dollar Amerika Serikat);

d. PT Bank Indonesian Investments International sebesar USD 2.000.000 (dua juta Dollar Amerika Serikat);

e. PT Bank Finconesia sebesar USD 2.000.000 (dua juta Dollar Amerika Serikat);

f. PT Bank Arta Niaga Kencana sebesar USD 2.000.000 (dua juta Dollar Amerika Serikat); dan

g. PT Bank Multicor sebesar USD 2.000.000 (dua juta Dollar Amerika Serikat).

Pada tahun 1999-2000, kreditur PT GWP yaitu PT Bank PDFCI, PT Bank Rama dan PT Bank Dharmala mengalami permasalahan keuangan ditambah dengan banyaknya kredit macet, sehingga ketiganya ditetapkan oleh Bank Indonesia sebagai bank dalam penyehatan, untuk kemudian lebih lanjut pengurusannya diserahkan kepada BPPN untuk masuk dalam program penyehatan; Sementara, kondisi keuangan 4 (empat) kreditur lainnya dalam keadaan stabil sehingga tidak diserahkan pengurusannya oleh Bank Indonesia kepada BPPN.

Oleh karena PT GWP tidak juga bersedia membayar utangnya kepada para kreditur, maka pada tahun 2000, BPPN yang mewakili 3 (tiga) kreditur dalam penyehatan bersama-sama dengan 4 (empat) kreditur PT GWP lainnya kemudian menandatangani Kesepakatan Bersama tanggal 8 Nopember 2000, yang pada pokoknya BPPN selaku pemegang 3 (tiga) piutang terhadap PT GWP akan membantu 4 (empat) kreditur lainnya untuk melakukan penagihan piutang kepada PT GWP, dengan syarat keempat kreditur tersebut mau memberikan surat kuasa penagihan piutang kepada BPPN;

Dalam pelaksanaannya, para kreditur yang memberikan kuasa hanya dari PT Bank Finconesia dan PT Bank Artha Niaga Kencana, sementara PT Bank Multicor yang saat ini telah berubah namanya menjadi PT Bank China Construction Bank Indonesia (CCBI) tidak pernah memberikan surat kuasa dan tidak pula pernah menundukkan dirinya kepada BPPN untuk melakukan penagihan piutang PT GWP. Hal tersebut dapat dibaca secara jelas dari Surat Peringatan BPPN yang diterbitkan oleh BPPN kepada PT GWP dengan Nomor S-52/SP/LD-AMC/BPPN/0900 tanggal 25 September 2000, dimana BPPN memperingatkan PT GWP untuk segera melunasi seluruh hutang berikut bunga dan dendanya.

Pada tahun 2004, oleh karena PT GWP tidak juga mengindahkan Surat Peringatan, Surat Paksa, dan Surat Penyitaan yang diberikan oleh BPPN, BPPN kemudian mengadakan lelang atas 3 (tiga) piutang terhadap PT GWP dalam program lelang PPAK-VI yang kemudian dimenangkan oleh PT MAS.

Dalam pengumuman lelang BPPN yang dimuat dalam koran Bisnis Indonesia tanggal 17 Desember 2003 berjudul "Daftar Aset Yang Ditawarkan Dalam PPAK-VI", piutang terhadap PT GWP yang di lelang oleh BPPN adalah senilai USD 9.074.558,56 dan Rp 252.170.787,48 termasuk bunga dan dendanya, yang mewakili kepentingan 3 (tiga) kreditur, dan bukan mewakili kepentingan 7 (tujuh) kreditur, yang jumlah utang pokoknya saja sudah sebesar USD 17.000.000.

PT MAS telah membeli dan menerima pengalihan aset kredit atas nama PT GWP dari BPPN yang berasal dari eks 3 (tiga) Bank Sindikasi, yaitu PT Bank PDFCI, PT Bank Rama dan PT Bank Dharmala, aset kredit yang sama kemudian telah PT MAS alihkan kepada Fireworks.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP) Negosiasi & Mediasi Penagihan yang Efektif Guna Menangani Kredit / Piutang Macet

[X]
×