kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.541.000   21.000   1,38%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Sengketa piutang GWP, semua pihak diminta hormati putusan pengadilan (Ada Hak Jawab)*


Senin, 21 Oktober 2019 / 18:22 WIB
Sengketa piutang GWP, semua pihak diminta hormati putusan pengadilan (Ada Hak Jawab)*
ILUSTRASI. Symbol of law and justice, law and justice concept. By SHUTTERSTOCK Simbol hukum dan keadilan, hukum dan konsep keadilan. By SHUTTERSTOCK


Reporter: Yudho Winarto | Editor: Yudho Winarto

*Terhadap artikel ini, Kuasa Hukum Tommy Winata (TW) Maqdir Ismail menyampaikan tanggapan sebagai berikut:

Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara Abaikan Pemerintah Negara Republik Indonesia

Jakarta. Pemerintah Negara Republik Indonesia c.q. BPPN telah diabaikan oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara sehubungan dengan sengketa kepemilikan piutang terhadap PT Geria Wijaya Prestige (“PT GWP”). Hal ini tentu memberikan preseden buruk bagi dunia usaha karena telah gagal memberikan kepastian hukum yang berkeadilan.

“Berdasarkan fakta Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara telah mengabaikan asli Surat Pemberitahuan Pengalihan Piutang PT GWP dari Pemerintah Negara Republik Indonesia c.q. BPPN kepada PT Millenium Atlantic Securities (“PT MAS”) dalam Surat BPPN Nomor 009/PMH-TPBPPN/0304 tanggal 18 Maret 2004, yang menyatakan bahwa BPPN dalam program lelang PPAK-VI tahun 2004 hanya mengalihkan tiga piutang terhadap PT GWP yang dahulu dimiliki oleh PT Bank PDFCI, PT Bank Dharmala dan PT Bank Rama kepada PT MAS, dan bukan tujuh piutang terhadap PT GWP berdasarkan Akta Kredit; Hal tersebut dapat dibaca pula dari Lampiran I Perjanjian Jual Beli Piutang antara BPPN dengan PT MAS Nomor 044/PPAK-VI/Obligor-Debitur/Tunai/0204 tanggal 23 Februari 2004" ungkap Maqdir Ismail, Kuasa Hukum TW, Senin (21/10/2019).

Maqdir Ismail menuturkan bahwa substansi pokok dalam Surat Pemberitahuan Pengalihan Piutang PT GWP dan Perjanjian Jual Beli Piutang PT GWP yang dibuat antara BPPN dengan PT MAS secara tegas tanpa keragu-raguan juga telah dikonfirmasi kebenarannya oleh Kepala Divisi Litigasi BPPN dan PT MAS selaku para pihak dalam perjanjian tersebut.

Maqdir Ismail menyebutkan pula bahwa Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara telah mengabaikan fakta pengakuan dari PT MAS yang membeli piutang dari BPPN dalam PPAK-VI, sebagaimana tercantum dalam asli Surat Pemberitahuan Pengalihan Piutang PT MAS Nomor 113/MAS/IX/2006 tanggal 18 September 2006 dan juga keterangan dari Direktur PT Profindo International Sekuritas (d/h. PT MAS), yang menyatakan bahwa PT MAS hanya membeli tiga piutang dari BPPN dalam program lelang PPAK-VI tahun 2004 berdasarkan Akta Nomor 67 dan bukan membeli tujuh piutang, untuk kemudian jumlah piutang yang sama tersebut dialihkan kembali kepada Fireworks Ventures Limited (Fireworks), yang belakangan mengaku-ngaku sebagai kreditur tunggal dari PT GWP.

“Bahkan kuasa dari Fireworks yang menandatangani perjanjian jual beli piutang dengan PT MAS telah secara tegas menyatakan piutang terhadap PT GWP yang dibeli oleh Fireworks dari PT MAS hanya terbatas pada tiga piutang yang dimiliki oleh PT Bank PDFCI, PT Bank Dharmala dan PT Bank Rama", jelasnya.

Maqdir Ismail melanjutkan, apabila institusi Pemerintah Negara Republik Indonesia telah secara semena-mena diabaikan oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara, bagaimana dunia usaha akan memperoleh keyakinan atas kepastian hukum dalam menjalankan investasinya di Indonesia.

Sebelumnya, perkara ini bermula dari adanya pemberian kredit sindikasi oleh 7 (tujuh) bank kepada PT GWP sebesar USD 17.000.000 (tujuh belas juta Dollar Amerika Serikat) berdasarkan Akta Nomor 8 tahun 1995, yang penggunaannya telah disepakati untuk pembangunan dan pengembangan Hotel Kuta Paradiso, yang berada di Jalan Kartika Plaza, Kuta, Kabupaten Badung, Provinsi Bali, dengan jangka waktu kredit 5 (lima) tahun dan akan jatuh tempo pada tanggal 28 November 2000.

Adapun ketujuh bank sindikasi yang bertindak sebagai kreditur PT GWP dengan perincian jumlah masing-masing pinjaman pokok adalah sebagai berikut:
 
a. PT Bank PDFCI sebesar USD 5.000.000 (lima juta Dollar Amerika Serikat);

b. PT Bank Rama sebesar USD 2.000.000 (dua juta Dollar Amerika Serikat);

c. PT Bank Dharmala sebesar USD 2.000.000 (dua juta Dollar Amerika Serikat);

d. PT Bank Indonesian Investments International sebesar USD 2.000.000 (dua juta Dollar Amerika Serikat);

e. PT Bank Finconesia sebesar USD 2.000.000 (dua juta Dollar Amerika Serikat);

f. PT Bank Arta Niaga Kencana sebesar USD 2.000.000 (dua juta Dollar Amerika Serikat); dan

g. PT Bank Multicor sebesar USD 2.000.000 (dua juta Dollar Amerika Serikat).

Pada tahun 1999-2000, kreditur PT GWP yaitu PT Bank PDFCI, PT Bank Rama dan PT Bank Dharmala mengalami permasalahan keuangan ditambah dengan banyaknya kredit macet, sehingga ketiganya ditetapkan oleh Bank Indonesia sebagai bank dalam penyehatan, untuk kemudian lebih lanjut pengurusannya diserahkan kepada BPPN untuk masuk dalam program penyehatan; Sementara, kondisi keuangan 4 (empat) kreditur lainnya dalam keadaan stabil sehingga tidak diserahkan pengurusannya oleh Bank Indonesia kepada BPPN.

Oleh karena PT GWP tidak juga bersedia membayar utangnya kepada para kreditur, maka pada tahun 2000, BPPN yang mewakili 3 (tiga) kreditur dalam penyehatan bersama-sama dengan 4 (empat) kreditur PT GWP lainnya kemudian menandatangani Kesepakatan Bersama tanggal 8 Nopember 2000, yang pada pokoknya BPPN selaku pemegang 3 (tiga) piutang terhadap PT GWP akan membantu 4 (empat) kreditur lainnya untuk melakukan penagihan piutang kepada PT GWP, dengan syarat keempat kreditur tersebut mau memberikan surat kuasa penagihan piutang kepada BPPN;

Dalam pelaksanaannya, para kreditur yang memberikan kuasa hanya dari PT Bank Finconesia dan PT Bank Artha Niaga Kencana, sementara PT Bank Multicor yang saat ini telah berubah namanya menjadi PT Bank China Construction Bank Indonesia (CCBI) tidak pernah memberikan surat kuasa dan tidak pula pernah menundukkan dirinya kepada BPPN untuk melakukan penagihan piutang PT GWP. Hal tersebut dapat dibaca secara jelas dari Surat Peringatan BPPN yang diterbitkan oleh BPPN kepada PT GWP dengan Nomor S-52/SP/LD-AMC/BPPN/0900 tanggal 25 September 2000, dimana BPPN memperingatkan PT GWP untuk segera melunasi seluruh hutang berikut bunga dan dendanya.

Pada tahun 2004, oleh karena PT GWP tidak juga mengindahkan Surat Peringatan, Surat Paksa, dan Surat Penyitaan yang diberikan oleh BPPN, BPPN kemudian mengadakan lelang atas 3 (tiga) piutang terhadap PT GWP dalam program lelang PPAK-VI yang kemudian dimenangkan oleh PT MAS.

Dalam pengumuman lelang BPPN yang dimuat dalam koran Bisnis Indonesia tanggal 17 Desember 2003 berjudul "Daftar Aset Yang Ditawarkan Dalam PPAK-VI", piutang terhadap PT GWP yang di lelang oleh BPPN adalah senilai USD 9.074.558,56 dan Rp 252.170.787,48 termasuk bunga dan dendanya, yang mewakili kepentingan 3 (tiga) kreditur, dan bukan mewakili kepentingan 7 (tujuh) kreditur, yang jumlah utang pokoknya saja sudah sebesar USD 17.000.000.

PT MAS telah membeli dan menerima pengalihan aset kredit atas nama PT GWP dari BPPN yang berasal dari eks 3 (tiga) Bank Sindikasi, yaitu PT Bank PDFCI, PT Bank Rama dan PT Bank Dharmala, aset kredit yang sama kemudian telah PT MAS alihkan kepada Fireworks.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU

[X]
×