kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45893,43   -4,59   -0.51%
  • EMAS1.326.000 1,53%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Segera disahkan DPR, ini sederetan kebijakan pajak baru di RUU HPP


Rabu, 06 Oktober 2021 / 19:42 WIB
Segera disahkan DPR, ini sederetan kebijakan pajak baru di RUU HPP
ILUSTRASI. Pemerintah mengajukan reformasi perpajakan melalui RUU tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).


Reporter: Yusuf Imam Santoso | Editor: Khomarul Hidayat

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah mengajukan reformasi perpajakan melalui Rancangan Undang Undang (RUU) tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Calon beleid ini telah disepakati antara pemerintah dan Panitia Kerja (Panja) RUU KUP Komisi XI DPR RI, pekan lalu.

DPR mengagendakan, RUU HPP akan dibahas pada Rapat Paripurna RI Ke-7 Masa Persidangan I Tahun Sidang 2021-2022 dalam Pembicaraan Tingkat II/Pengambilan Keputusan atas beleid sapu jagad perpajakan tersebut, Kamis (7/10). Jika perlemen mengesahkan, maka RUU HPP akan disegara ditandatangani Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk dapat diundangkan.

Ada beberapa ketentuan dalam RUU HPP yang mengundang perhatian publik.

Misalnya, soal kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) tahun depan naik menjadi 11% dari yang berlaku saat ini sebesar 10%. Kemudian, menambah satu layer tarif pajak penghasilan (PPh) orang oribadi sebesar 35% untuk penghasilan di atas Rp 5 miliar per tahun.

Baca Juga: Tax amnesty jilid II untuk meningkatkan rasio pajak

Lalu, pemerintah juga berencana menggelar pengampunan pajak atau program pengungkapan sukarela wajib pajak dengan memberikan tarif rendah bagi para pengemplang pajak yang berkisar 6%-18%, atau di bawah tarif PPh orang pribadi tertinggi yang berlaku saat ini sebesar 30%.

RUU HPP juga memberikan mandat agar penyidik pajak bisa menangkap dan menyita aset wajib pajak.

Namun, RUU HPP tak mengakomodir rencana pemerintah untuk menurunkan tarif PPh badan tahun depan menjadi 20%. Dus, tarif PPh Badan tahun depan masih sama dengan ketentuan saat ini yakni 22%.

Pengamat perpajakan Universitas Pelita Harapan Ronny Bako menilai isi dari RUU HPP sudah mencermikan reformasi perpajakan yang berkeadilan. Sebab, Ronny menilai bahwa pemerintah bersama dengan parlemen tetap mau mendengarkan masukkan dari stakeholder dan masyarakat.

Misalnya, dengan tetap mengecualikan sembako, jasa pendidikan, dan jasa kesehatan dari objek PPN. Kenaikkan tarif PPN juga lebih rendah dari usulan pemerintah sebelumnya sebesar 12%.  

Ronny menilai, kenaikan PPN tidak akan mendistorsi ekonomi di tahun depan, selama proses pemulihan ekonomi berjalan sesuai dengan skema pemerintah dengan target pertumbuhan ekonomi 5,2% dan tingkat inflasi 3%.

Dari sisi penambahan lapisan tarif PPh orang pribadi, Ronny mengatakan, kebijakan tersebut pantas dilakukan untuk memberikan efek fairness bagi wajib pajak. Sebab, orang tajir di Indonesia makin banyak.

“Meski PPh badan pun tidak jadi turun, sebetulnya wajib pajak kan realitasnya  tetap bisa meminta dispensasi kepada otoritas pajak untuk membayar pajak lebih rendah dan itu legal. Lagi pula kalau rugi kan tidak perlu bayar PPh,” kata Ronny kepada Kontan.co.id, Rabu (6/10).

Menurut Ronny, apabila RUU HPP disahkan maka target penerimaan pajak tahun depan sebesar Rp 1.265 triliun bisa tercapai. Namun, Ronny berharap, pemerintah tidak hanya menggandalkan klausul dalam beleid tersebut, tapi juga tetap melakukan intensifikasi dan ekstensifikasi.

Ia mencontohkan, mengejar harta kekayaan orang kaya raya yang merupakan beneficial ownership perusahaan. Cara ini bisa menggenjot penerimaan PPh orang pribadi di tahun depan.

Selanjutnya, memberlakukan pajak ekspor berjenjang untuk batubara serta minya dan gas (migas) atau sama seperti yang ketentuan pajak ekspor di kelapa sawit saat ini. Apalagi harga komoditas saat ini tengah dalam tren melonjak.

“Tapi upaya-upaya tersebut tidak bisa hanya dilakukan oleh Kemenkeu, tapi harus benar-benar kerjasama dengan Kemenkumham, Kemendag, dan lain-lain,” kata Ronny.

Baca Juga: Ekonom sebut program pengampunan pajak jilid II bisa timbulkan crowding out effect

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani mengatakan, pihaknya belum pernah diajak berdiskusi perihal batalnya penurunan tarif PPh badan.

Hariyadi menilai, saat pemerintah mengumumkan penurunan tarif PPh badan secara bertahap pada 2020 lalu, banyak pengusaha yang sudah menyusun roadmap. Harapannya, dengan uang yang bisa dihemat dari pengurangan pajak, bisa dinvestasikan atau dialokasikan perusahaan untuk mengembangkan bisnis.

“Berarti ini kan larinya ke negara,  buat kebutuhan negara. Ya sebetulnya dalam kondisi masih terdampak pandemi (tahun depan) akan sangat membantu cashflow,” kata Hariyadi kepada Kontan.co.id beberapa waktu lalu.

Ia juga menekankan, rencana kebijakan tersebut akan berdampak terharap daya saing investasi Indonesia dibandingkan dengan negara lain. Maklum tarif PPh Badan di Indonesia cenderung lebih tinggi di bandingkan negara lain.

Misalnya India, yang mengenakan tarif sebesar 15%-17,01% untuk perusahaan manufaktur domestik yang telah berdiri sejak 1 Oktober 2019. Meskipun secara umum tarif PPh Badan yang berlaku di India sebesar 25%.

Baca Juga: PTKP bakal jadi penentu NIK menjadi NPWP, berikut penjelasannya

Namun demikian, Apindo tetap mendukung kebijakan yang telah dirancang oleh pemerintah bersama Komisi XI DPR RI. Sebagai kompensasi, ia berharap, pemerintah dapat memastikan iklim investasi tetap berjalan lancar.

“Yang terpenting adalah pengendalian pandemi yang menyebabkan adanya PPKM yang menyebabkan penurunan daya beli. Pandemi masalah utama, tarif pajak masih bisa dihitung, kalau rugi juga ga ada pajak yang dibayar,” ujar dia.

Di sisi lain, Wakil Ketua Umum Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) Anggawira optimistis, agenda pengampunan pajak tahun depan akan diminati oleh para wajib pajak. Sebab, tarif yang ditawarkan dinilai cukup menarik dan jauh lebih rendah daripada tarif PPh OP tertinggi yang berlaku saat ini sebesar 30%.

Kendati demikian, Anggawira mengatakan, sebaiknya para alumni tax amnesty tak diperkenakan untuk mengikuti program tersebut. Karenanya, pengampunan pajak sejatinya hanya dilakukan sekali seumur hidup.

“Sekali pun yang pernah ikut tax amnesty diikut sertakan dalam dalam program ini harusnya tarifnya lebih tinggi daripada peserta yang baru. Logikanya harusnya begitu, yang belum pernah ikut pengampunan pajak tarifnya yang rendah,” kata Anggawira.

Selanjutnya: Hapus klausul AMT dalam RUU HPP, pemerintah dan DPR andalkan tarif PPh Badan

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Practical Business Acumen Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP)

[X]
×