Reporter: Dendi Siswanto | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID-JAKARTA. Ketidakpastian global yang masih tinggi pada tahun depan akan berdampak pada aktivitas dunia usaha.
Tak heran, pemerintah menyadari kondisi tersebut sehingga target penerimaan pajak korporasi pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2024 didesain sangat minimalis.
Merujuk pada Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 76 Tahun 2023 tentang Rincian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2023, pemerintah mematok target pajak penghasilan (PPh) Pasal 25/29 Badan hanya sebesar Rp 428,59 triliun.
Target tersebut hanya meningkat sebesar 6,87% dibandingkan target pada tahun ini sebesar Rp 401,01 triliun dalam Perpres Nomor 75 Tahun 2023.
Baca Juga: Pertumbuhan Penerimaan PPh Badan Melambat, Sri Mulyani Waspada
Padahal, dalam beberapa tahun terakhir, target pajak korporasi dipatok cukup ambisius. Misalnya saja pada tahun 2021 sebesar Rp 215,08 triliun dan meningkat 19,66% menjadi Rp 257,37 triliun. Kemudian, target tersebut meningkat lagi sebesar 55,81% menjadi Rp 401, 01 triliun pada tahun 2023.
Berdasarkan catatan pemerintah, pertumbuhan kumulatif PPh Badan hingga akhir Oktober 2023 mencapai 19,44% YoY atau terealisasi Rp 356,36 triliun. Namun demikian, pertumbuhan PPh Badan bulanan terkoreksi negatif 3,7%.
Kontraksi tersebut disebabkan oleh peningkatan restitusi dan pembayaran ketetapan pajak pada tahun lalu yang tidak terulang kembali pada tahun ini.
Direktur Eksekutif Indonesia Economic Fiscal (IEF) Research Institute Ariawan Rachmat mengatakan, pemerintah menyadari bahwa kondisi geopolitik dan ekonomi global belum kondusif bagi aktivitas dunia.
Oleh karena itu, pemerintah mematok kenaikan target penerimaan pajak korporasi sedikit lebih kecil jika dibandingkan target sebelumnya.
Baca Juga: Setoran Pajak Korporasi 2023 Kehilangan Berkah Ledakan Harga Komoditas
Misalnya saja, ketegangan geopololitik antara Rusia dan Ukraina yang juga menimbulkan risiko bagi Indonesia khususnya dunia usaha, terutama disektor energi, pangan dan perdagangan, sehingga pemerintah mengakulkasi ulang strategi kebijakan ekonmi dan dunia usaha, termasuk target penerimaan pajak.
"Kita tahu, tahun lalu ada implikasi positif yaitu kenaikan harga energi dan komoditas pangan global justru meningkatkan pendapatan ekspor bagi Indonesia," ujar Ariawan kepada Kontan.co.id, Selasa (5/12).
Ariawan bilang, pada tahun 2022, Indonesia mendapatkan windfall profit atau keuntungan tak terduga yang berasal dari lonjakan harga komoditas Internasional akibat konflik Rusia-Ukraina.
Oleh karena itu, pada awal 2023, harga komoditas masih cukup bagus sehingga pemerintah lebih percaya diri dengan target penerimaan PPh 25/29 Badan.
"Namun pemerintah menyadari kondisi ini belum tentu terulang lagi di tahun depan. Maka wajar pemerintah memangkas kenaikan target PPh Pasal 25/29 Badan," katanya.
Selain itu, volume perdagangan yang turun akibat berkurangnya permintaan global lantaran pertumbuhan ekonomi di negara-negara tujuan ekspor yang melambat juga menjadi pertimbangan pemerintah mendesain target pajak korporasi 2024 sangat minimalis.
Baca Juga: Penerimaan PPh Badan Hingga Agustus 2023 Naik 23,2%
Di sisi lain, pemerintah juga menyadari bahwa tumpuan dari target penerimaan pajak akan lebih bergeser kepada pajak PPh Orang Pribadi (OP) dibandingkan penerimaan PPh Badan atau korporasi.
"OP lebih cenderung stabil, tahan banting terhadap turbulence ekonomi, serta memiliki implifikasi positif sejalan dengan semakin banyaknya golongan orang menengah kaya baru yang terdeteksi dari makin banyaknya tabungan atau deposito di atas Rp 5 miliar," terang Ariawan.
Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute Prianto Budi Saptono menyebut, tantangan pemerintah dalam mengumpulkan pajak korporasi masih berkaitan dengan fenomena TUNA (Turbelency, Untercertainty, Novelty, dan Ambiguity).
Pertama, turbulensi berkaitan dengan kondisi ketika dunia industri mengalami perubahan misalnya berupa produk baru, pasar baru, hingga persaingan yang dinamis.
Kedua, ketidakpastian (untercertainty) berkaitan dengan kondisi yang serba tidak pasti seperti faktir geopolitik perang di beberapa belahan dunia.
"Ketiga, kebaruan (novelty) diantaranya berkaitan dengan perkembangan teknologi baru yang sangat cepat dan saat ini sudah memasuki era teknologi 5.0 yang biasa disebut human centered society karena manusia berada di physical world dan virtual world secara bersamaan," katanya.
Baca Juga: Waspadai Lesunya Setoran Pajak Sektor Komoditas
Keempat, ambiguitas di antaranya berkaitan dengan peraturan pajak yang diproduksi pemerintah semakin kompleks meski sudah terbit aturan tentang omnibus law berupa UU Cipta Kerja.
Selain itu, Prianto memperkirakan realisasi penerimaan PPh Badan hingga akhir tahun 2023 akan mencapai Rp 427,85 triliun.
Sementara itu, Pengamat Pajak Center for Indonesia Tax Analysis (CITA) Fajry Akbar menyampaikan, cicilan PPh Badan pada tahun depan, sebagian besar mempresentasikan kinerja perusahaan pada 2023.
"Jadi wajar kalau kenaikan target penerimaan PPh Badan hanya 6,87% kecuali ada dinamisasi," terang Fajry.
Baca Juga: Pajak Minimum Global Jadi Persoalan, Kemenkeu: Masih Dibahas Internal
Sedangkan, dunia usaha pada tahun depan dapat merujuk pada data makro, seperti proyeksi pertumbuhan ekonomi 2024, atau kenaikan impor barang modal pada akhir tahun.
"Jadi, tak tepat kalau besaran kenaikan target PPh Badan sebagai proxy kinerja perusahaan pada 2024. Lebih tepat menggunakan data makro," imbuh Fajry.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News