Reporter: Dendi Siswanto | Editor: Noverius Laoli
Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute Prianto Budi Saptono menyebut, tantangan pemerintah dalam mengumpulkan pajak korporasi masih berkaitan dengan fenomena TUNA (Turbelency, Untercertainty, Novelty, dan Ambiguity).
Pertama, turbulensi berkaitan dengan kondisi ketika dunia industri mengalami perubahan misalnya berupa produk baru, pasar baru, hingga persaingan yang dinamis.
Kedua, ketidakpastian (untercertainty) berkaitan dengan kondisi yang serba tidak pasti seperti faktir geopolitik perang di beberapa belahan dunia.
"Ketiga, kebaruan (novelty) diantaranya berkaitan dengan perkembangan teknologi baru yang sangat cepat dan saat ini sudah memasuki era teknologi 5.0 yang biasa disebut human centered society karena manusia berada di physical world dan virtual world secara bersamaan," katanya.
Baca Juga: Waspadai Lesunya Setoran Pajak Sektor Komoditas
Keempat, ambiguitas di antaranya berkaitan dengan peraturan pajak yang diproduksi pemerintah semakin kompleks meski sudah terbit aturan tentang omnibus law berupa UU Cipta Kerja.
Selain itu, Prianto memperkirakan realisasi penerimaan PPh Badan hingga akhir tahun 2023 akan mencapai Rp 427,85 triliun.
Sementara itu, Pengamat Pajak Center for Indonesia Tax Analysis (CITA) Fajry Akbar menyampaikan, cicilan PPh Badan pada tahun depan, sebagian besar mempresentasikan kinerja perusahaan pada 2023.
"Jadi wajar kalau kenaikan target penerimaan PPh Badan hanya 6,87% kecuali ada dinamisasi," terang Fajry.
Baca Juga: Pajak Minimum Global Jadi Persoalan, Kemenkeu: Masih Dibahas Internal
Sedangkan, dunia usaha pada tahun depan dapat merujuk pada data makro, seperti proyeksi pertumbuhan ekonomi 2024, atau kenaikan impor barang modal pada akhir tahun.
"Jadi, tak tepat kalau besaran kenaikan target PPh Badan sebagai proxy kinerja perusahaan pada 2024. Lebih tepat menggunakan data makro," imbuh Fajry.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News