Reporter: Ratih Waseso | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Sengketa hukum antara Yayasan Universitas 17 Agustus 1945 (Untag) dengan terdakwa Tedja Widjaja dan dengan Nomor Perkara 1087/PID.B/2018/PN.JKT.UTR tidak masuk dalam ranah pidana, karena tidak adanya unsur pidana sebagaimana yang didakwakan, yaitu penggelapan dan penipuan.
Hal tersebut disampaikan kuasa hukum Tedja Widjaja, Andreas Nahot Silitonga setelah mendengarkan pendapat saksi ahli di persidangan pada 20 Maret lalu di Pengadilan Negeri Jakarta utara.
Ahli hukum pidana dari Universitas Al-Azhar, Suparji mengatakan, penggelapan secara subjektif mengandung unsur kesengajaan dan secara objektif bermaksud memiliki barang orang lain
Dalam kasus ketika ada transaksi jual beli tanah dan sudah terjadi penandatanganan AJB (Akta Jual Beli), maka berarti sudah terjadi peralihan, balik nama. Tanah tersebut sepenuhnya sudah milik pembeli. Ketika kemudian pembeli menjaminkan sertifikat tanah tersebut maka tidak ada tindak pidana penggelapan, karena unsur “milik orang lain” tidak terpenuhi.
Sementara penipuan menurut Suparji bisa diterjemahkan sebagai sebuah tindakan sengaja atas niat tidak baik (mens rea) untuk memperkaya diri sendiri dengan melakukan serangkaian kebohongan yang merugikan orang lain.
“Jadi dalam perkara pidana penggelapan dan penipuan tetap harus ada unsur niat jahat dengan sengaja. Kalau penipuan itu niat jahatnya di awal, sedangkan penggelapan di belakang,” terang Suparji menjawab pertanyaan JPU yang tertulis dalam siaran pers yang diterima Kontan.co.id Minggu (24/3).
Lalu mengenai bagaimana jika penandatanganan AJB terjadi karena ada penipuan melalui janji dan bujuk rayu, Suparji mengatakan bahwa hal itu perlu diuji dan dibuktikan berdasarkan sejumlah bukti.
“Untuk memutuskan seseorang melakukan tindak pidana tidak boleh hanya menggunakan satu alat bukti. Apalagi jika itu hanya kesaksian dari korban, harus dilihat dulu apa motifnya,” ujar Suparji.
Lebih lanjut Suparji mengatakan jika dalam suatu perkara hukum dasar persoalannya adalah perjanjian atau kesepakatan, maka seharusnya masuk ranah perdata. Misalnya, jika ada dari perjanjian yang tidak terpenuhi, pihak yang dirugikan bisa melakukan somasi atau gugatan wanprestasi.
“Pada beberapa kasus dimungkinkan terjadi transformasi dari perdata ke pidana jika memang ditemukan unsur-unsur pidana seperti penipuan atau lainnya,” ucapnya.
Terkait dugaan pemalsuan dalam sengketa lahan Untag yang tidak masuk dalam dakwaan, dinilai Suparji harus dikembalikan kepada isi dakwaan. Artinya, tidak bisa begitu saja didakwakan karena sebelumnya tidak ada dalam dakwaan.
“Surat dakwaan itu menjadi dasar bagi jaksa untuk mengajukan tuntutan, menjadi dasar bagi pembela untuk melakukan pembelaan dan dasar bagi hakim untuk membuat putusan. Jadi, putusan pidana itu harus mengacu pada dakwaan. Akan muncul ketidakadilan hukum jika ketika persidangan ada perkara baru yang diperiksa yang sebelumnya tidak ada dalam dakwaan,” tandasnya.
Atas apa yang disampaikan saksi ahli Nahot menjelaskan dalam perkara tersebut terdakwa didakwa melakukan penggelapan karena menjaminkan sertifikat tanah tanpa sepengetahuan Yayasan.
Padahal, persidangan membuktikan bahwa sudah terjadi tanda tangan AJB dan balik nama, sehingga sertifikat itu sudah atas nama terdakwa.
"Tadi saksi ahli menegaskan, kalau sudah AJB berarti sudah terjadi peralihan. Sehingga, tidak ada penggelapan, karena yang dijaminkan milik sendiri, bukan milik orang lain,” tutur Nahot.
Sedangkan terkait penipuan, menurut Nahot harus dipenuhi sejumlah unsur yang bisa dibuktikan di persidangan, di antaranya terkait dengan kerugian.
“Orang melaporkan penipuan itu kan setelah dia mengalami kerugian. Mana buktinya? Karena kami justru punya bukti telah melakukan pembayaran melalui transfer bank,” tegas Nahot.
Sengketa bermula dari transaksi jual-beli antara Yayasan Untag yang diwakili Rudyono Darsono dengan Tedja Widjaja selaku Direktur PT Graha Mahardika (GM) atas lahan milik Yayasan Untag seluas 3,2 hektare dengan nilai transaksi Rp 65,6 miliar pada 2009.
Dalam transaksi tersebut disepakati empat bentuk pembayaran yang tertuang dalam Akta Perjanjian Kerjasama No.58, tanggal 28 Oktober 2009, yang seluruhnya sudah dilunasi oleh PT GM dengan bukti pembayaran yang lengkap.
Pertama, pembayaran uang muka Rp 6,445 miliar. Kemudian pembayaran senilai Rp 15 miliar. Selanjutnya Rp 16,145 miliar dibayar tunai bertahap selama 36 bulan, dan terakhir dibayar dengan pembangunan gedung kampus baru dengan nilai minimal Rp 24 miliar. Guna pembangunan kampus, Tedja Widjaja mengeluarkan uang hingga Rp 31 miliar.
Terdapat permintaan kembali untuk renovasi gedung lama, penyediaan alat laboratorium sehingga totalnya mencapai Rp 46 miliar. Gedung kampus baru yang dijadikan salah satu mekanisme pembayaran tersebut telah digunakan untuk mahasiswa Untag berkuliah sejak 2012.
Pada Juni 2017, Yayasan Untag melaporkan dugaan tindak pidana oleh Tedja Widjaja ke polisi yang ditindaklanjuti oleh polisi dengan melakukan penyidikan.
Tedja Widjaja dituduh dalam dakwaan belum melakukan pembayaran sebesar Rp 15 miliar yang akan digunakan Untag untuk membeli tanah di lokasi lain sebagai pengganti tanah di Sunter.
Dalam Surat Dakwaan, Tedja Widjaja didakwa telah melakukan tindak pidana Penipuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 378 KUHP karena melakukan tipu muslihat dengan bujuk rayu dengan cara menjanjikan penerbitan Bank Garansi agar pihak Untag bersedia menandatangani Akte Jual Beli, namun ternyata Bank Garansi yang dijanjikan tersebut tidak pernah terbit.
Selain itu, Tedja Widjaja juga didakwa telah melakukan tindak pidana Penggelapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 372 KUHP karena menjaminkan 5 sertifikat tanah kepada Bank ICBC dan Bank Artha Graha.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News