Reporter: Adinda Ade Mustami | Editor: Sanny Cicilia
JAKARTA. Keinginan Bank Indonesia (BI) untuk penyederhanaan mata uang rupiah dengan memangkas tiga angka nol di belakang atau redenominasi mendapatkan hadangan dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Pihak parlemen menyebut saat ini bukan waktu yang tepat untuk menerapkan kebijakan redenominasi rupiah.
Setidaknya ada dua alasan utama yang dikemukakan oleh anggota DPR. Pertama, kualitas inflasi yang rendah pada saat ini dinilai belum cukup kuat. Ketua Komisi XI DPR Melchias Marcus Mekeng mengatakan, rendahnya inflasi pada saat ini lebih dipengaruhi oleh kondisi ekonomi yang masih lambat. "Inflasi rendah bukan karena hebatnya Bank Indonesia (BI). Memang ada perannya, tetapi ini juga karena ekonominya lagi slow jadi mempengaruhi inflasi," katanya, Rabu (31/5).
Mekeng mengatakan, penerapan kebijakan redenominasi perlu masa transisi yang cukup lama. Di saat masa transisi tersebut, belum tentu ekonomi selalu dalam keadaan baik, sehingga ada risiko mengancam.
Kedua, BI belum melakukan sosialisasi persiapan redenominasi kepada masyarakat. Menurut Mekeng, bank sentral seharusnya melakukan sosialisasi terlebih dahulu mulai saat ini. Dengan demikian, jika kebijakan itu diimplementasikan masyarakat tidak terkejut. "Jangan sampai nanti saat redenominasi uangnya jadi satu rupiah, masyarakat terkejut," katanya
Namun BI menepis kekhawatiran DPR tersebut. Gubernur BI Agus Martowardojo memastikan kebijakan redenominasi rupiah tidak menimbulkan perubahan nilai suatu barang sehingga kebijakan itu tak berdampak pada inflasi. Sebab, saat masa transisi nanti, berlaku dua harga untuk satu barang.
Sedangkan terkait sosialisasi, Agus mengatakan, saat Rancangan Undang-Undang (RUU) Penetapan Harga Rupiah (redenominasi rupiah) dibahas oleh pemerintah dan DPR, pihaknya akan melakukan sosialisasi ke masyarakat. Setelah dibahas, penerapan kebijakan ini juga memerlukan waktu transisi yang cukup lama, minimal tujuh tahun.
"Pada saat masa transisi redenominasi mata uang, harga barang pun penetapannya musti dibuat dua," katanya.
Dorong ke Prolegnas
Asisten Gubernur Kepala Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter BI Dody Budi Waluyo mengatakan, redenominasi rupiah dilakukan dengan memangkas tiga desimal terakhir. Dengan demikian maka nilai Rp 1.000 pada saat ini akan menjadi Rp 1.
Agar masyarakat tidak kaget, maka saat masa transisi akan dilakukan paralel dengan penarikan uang rupiah lama dan penerbitan uang rupiah baru. Sehingga secara bertahap uang rupiah dengan denominasi baru akan menggantikan uang rupiah lama.
Selain itu, nantinya bakal ada pencantuman harga barang dengan harga pecahan lama dan harga pecahan baru untuk barang dengan jenis dan ukuran yang sama. Pembeli, lanjut Dody, bisa membayar barang dengan pilihan harga pecahan baru atau harga pecahan lama. "Dengan demikian, tidak ada perubahan nilai atas nilai barang atau nilai kekayaan seseorang," tambah Dody.
Dody juga berjanji, pada saat masa transisi nanti, BI akan terus melakukan komunikasi kepada masyarakat bahwa redenominasi berbeda dengan pemotongan nilai uang (sanering) sehingga tidak akan mempengaruhi inflasi atau penurunan kekayaan seseorang.
Olah karena itu BI keukeuh untuk meyakinkan Menteri Keuangan dan Menteri Hukum dan Hak Azasi Manusia agar membawa RUU Redenominasi dalam pembahasan dengan Badan Legislasi (Baleg) DPR. Harapannya RUU Redenominasi bisa masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas).
BI berharap isi RUU Redenominasi yang hanya 18 pasal menjadi pertimbangan DPR. Atas permintaan BI tersebut Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati belum mau menanggapi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News