kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45896,66   8,93   1.01%
  • EMAS1.363.000 -0,15%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Rupiah Nyaris Tembus Rp 16.300 per Dolar AS, Begini Dampaknya ke Belanja Negara


Rabu, 12 Juni 2024 / 17:40 WIB
Rupiah Nyaris Tembus Rp 16.300 per Dolar AS, Begini Dampaknya ke Belanja Negara
ILUSTRASI. Petugas menghitung mata uang Rupiah dan Dolar AS di Ayu Masagung Money Changer, Jakarta, Kamis (30/5/2024). Rupiah Nyaris Tembus Rp 16.300 per Dolar AS, Begini Dampaknya ke Belanja Negara.


Reporter: Siti Masitoh | Editor: Noverius Laoli

KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) terus melemah, menjauhi asumsi yang ada dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2024.

Jika pelemahan rupiah terhadap dolar AS terus berlanjut, maka APBN akan terdampak. Setiap pelemahan nilai tukar rupiah akan menyumbang defisit APBN, karena belanja negara akan membengkak.

Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede mengungkapkan, melemahnya nilai tukar rupiah akan menambah penerimaan negara, tetapi juga sekaligus menambah alokasi belanja negara.

Baca Juga: Rupiah Anjlok Nyaris ke Rp 16.300, Kemenkeu Pastikan Utang Pemerintah Aman

Di satu sisi, penguatan dolar AS terhadap rupiah menyebabkan peningkatan beberapa komponen seperti pembayaran bunga utang, subsidi, dan kompensasi energi, serta dana bagi hasil (DBH) migas akibat perubahan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) migas.

“Namun demikian, deviasi indikator asumsi nilai tukar rupiah juga akan mempengaruhi sisi pendapatan sehingga dampak neto terhadap APBN cenderung minim,” tutur Josua kepada Kontan.co.id, Rabu (12/6).

Untuk diketahui, nilai tukar rupiah di pasar spot tak mampu keluar dari tekanan pada perdagangan hari ini. Rabu (12/6), rupiah spot ditutup di level Rp 16.295 per dolar AS, jauh melebihi target dalam APBN 2023 sebesar Rp 15.000 per dolar AS.

Baca Juga: Cegah Crowding Out Effect, Kemenkeu Prioritaskan Penerbitan SBN Domestik

Berdasarkan anlisis sensitivitas APBN 2024 terhadap perubahan asumsi dasar ekonomi makro, setiap pelemahan nilai tukar rupiah sebesar Rp 100 per dolar AS, akan menambah belanja negara sebesar Rp 10,2 triliun, sementara pendapatan negara akan bertambah Rp 4 triliun.

Alhasil, ada tambahan defisit anggaran Rp 6,2 triliun dari pelemahan nilai tukar tersebut.

Skenarionya apabila nilai tukar rupiah melemah Rp 16.300 per dolar AS (jauh dari asumsi APBN 2024 Rp 15.000), maka belanja negara akan bertambah Rp 132,6 triliun, dan pendapatan negara akan bertambah Rp 52 triliun. Alhasil, ada tambahan defisit anggaran Rp 80,6 triliun dari pelemahan nilai tukar tersebut.

Baca Juga: Defisit APBN Berpotensi Melebar, Utang Luar Negeri Pemerintah Terancam Naik

Untuk diketahui, pelemahan kurs rupiah akan sangat mempengaruhi belanja khususnya belanja subsidi energi, terlebih jika pelemahan kurs dibarengi dengan naiknya harga minyak mentah. Selain itu terdapat juga penyesuaian pada pengadaan barang dan jasa pemerintah akibat selisih kurs.

Adapun para ahli strategi di Morgan Stanley menyatakan kebijakan fiskal Indonesia dan penguatan dolar AS akan menimbulkan risiko terhadap investasi saham. Di samping itu, Morgan Stanley juga menurunkan peringkat ekuitas bursa saham Indonesia menjadi “underweight” dalam alokasi perusahaan di pasar Asia dan negara berkembang.

Menanggapi hal tersebut Josua menilai, tekanan eksternal memang menjadi salah satu pendorong dari risiko di pasar saham.  Tekanan tersebut, tidak lepas dari pelemahan nilai tukar dan suku bunga domestik yang tetap tinggi.

“Depresiasi nilai tukar akan berdampak pada emiten-emiten industri yang memiliki bahan baku dan barang modal yang diimpor,” ungkapnya.

Baca Juga: Rupiah Menguat, Ekonom: Risiko Investasi RI Jadi Menurun

Sementara itu, Josua menyebut tekanan pada suku bunga juga akan mendorong relatif tingginya suku bunga dasar kredit (SBDK) dari sektor perbankan, yang akan berdampak pula pada kinerjanya secara umum.

Demikian pula dampak dari melebarnya defisit fiskal juga akan memiliki dampak langsung dan tidak langsung.

Secara langsung, meningkatnya defisit berpotensi mendorong kenaikan yield obligasi bila memang penyebab defisit dari pemerintah tidak serta merta mendorong pertumbuhan ekonomi di sektor riil. Kenaikan yield obligasi, lanjutnya, berpotensi mendorong crowding out di pasar saham.

Sebaliknya, bila melebarnya defisit disebabkan oleh peningkatan belanja produktif, maka risiko crowding out akan cenderung terbatas. “Secara tidak langsung, melebarnya defisit berpotensi meningkatkan risiko twin deficit, yang pada akhirnya meningkatkan risiko volatilitas rupiah,” tandasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Pre-IPO : Explained Supply Chain Management on Efficient Transportation Modeling (SCMETM)

[X]
×