Reporter: Vendy Yhulia Susanto | Editor: Yudho Winarto
Timboel menilai, jika upah minimum turun maka menyebabkan konsumsi pekerja turun. Hal ini kontraproduktif dengan tujuan UU cipta kerja yang ingin mengerek pertumbuhan ekonomi nasional. Pasalnya tingkat konsumsi berkontribusi besar pada pertumbuhan ekonomi nasional.
“Ini akhirnya membuat daya beli akan berkurang. Ini yang akan bermasalah kedepan dan ini akan menciptakan konflik. Ini harus dikaji lagi,” ujar dia.
Komite Tetap Ketenagakerjaan Kadin Indonesia, Bob Azam mengatakan, formulasi perhitungan upah minimum dalam RPP tersebut lebih representatif karena banyak hal yang dipertimbangkan. Berbeda dengan PP 78/2015 yang merupakan simplifikasi antara pertumbuhan ekonomi dan inflasi nasional.
Baca Juga: Besaran manfaat program jaminan kehilangan pekerjaan sudah disepakati dalam RPP
“Justru banyak menimbulkan masalah, banyak perusahaan yang nggak bisa memenuhi,” kata Bob kepada Kontan.
Bob menyatakan, perhitungan upah minimum provinsi saat ini akan lebih menggambarkan kondisi riil upah setiap provinsinya. Seperti diketahui, formulasi upah minimum provinsi dalam RPP menggunakan indikator pertumbuhan ekonomi atau inflasi tingkat provinsi.
Hal ini berbeda dengan yang ada dalam PP 78/2015 yang menggunakan pertumbuhan ekonomi dan inflasi nasional.
Selain itu, Bob mengatakan, penyesuaian upah minimum kabupaten/kota yang menggunakan indikator pertumbuhan ekonomi atau inflasi tingkat provinsi agar membuat tidak jauhnya perbedaan upah minimum antar satu kabupaten/kota dengan kabupaten/kota lainnya
“(Saat ini) upah antar daerah jomplang (perbedaannya),” tutur Bob.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News