Reporter: Vendy Yhulia Susanto | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah telah mengesahkan UU Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Salah satu aturan turunan UU tersebut adalah RPP tentang Pengupahan.
Direktur Pengupahan, Direktorat Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Ditjen PHI JSK), Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker), Dinar Titus Jogaswitani mengatakan, formulasi perhitungan upah dalam RPP ini ditetapkan berdasarkan kondisi ekonomi dan ketenagakerjaan.
Kondisi ekonomi dan ketenagakerjaan yang dimaksud meliputi variabel paritas daya beli, tingkat penyerapan tenaga kerja, median Upah. Serta pertumbuhan ekonomi atau inflasi tingkat provinsi.
Ia mengklaim, formulasi tersebut akan lebih menggambarkan kondisi riil upah setiap provinsi. “Iya (lebih menggambarkan kondisi riil upah setiap provinsi),” kata Dinar kepada Kontan, Selasa (9/2).
Baca Juga: Soal empat RPP ketenagakerjaan, ini kata Kemenaker
RPP tentang Pengupahan ini nantinya menggantikan aturan sebelumnya yakni PP nomor 78 tahun 2015 tentang Pengupahan. Berbeda dengan PP 78/2015, penetapan upah minimum provinsi dalam RPP ini tidak berdasarkan kebutuhan hidup layak (KHL).
Dinar menyebut, formulasi upah minimum provinsi pada RPP ini pada dasarnya meneruskan formulasi upah minimum di aturan sebelumnya yang basisnya telah menggunakan KHL. Ia menyebut, upah minimum untuk pertama kali adalah upah minimum yang diatur dalam PP 78/2015.
“Ternyata dalam masa pandemi perusahaan banyak yang tidak mampu membayar. Sehingga perlu campur tangan pemerintah,” ucap dia.
Ketua Bidang Ketenagakerjaan dan Jaminan Sosial, Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Harijanto berharap dengan adanya pengaturan pengupahan tersebut membuat penciptaan lapangan kerja dapat terealisasi melalui investasi padat karya.
Ia berharap, kepala daerah bisa patuh karena selama ini terdapat kepala daerah yang melanggar UU/PP. “Harusnya lebih adil dan fair karena daerah atau provinsi yang masih tertinggal bisa kompetitif menarik investasi – investasi,” ujar Harijanto kepada Kontan.
Sekjen Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (Sekjen Opsi) Timboel Siregar meminta pemerintah mengkaji ulang substansi RPP tentang pengupahan ini. Pasalnya, pada pasal – pasal krusial mengenai formulasi perhitungan upah, justru berpotensi mengurangi kenaikan upah minimum provinsi.
“Pengaturan RPP pengupahan relatif tidak memberikan azaz keadilan, bagaimana dikaji secara akademik, belum tepat,” ungkap Timboel kepada Kontan.
Baca Juga: Uang Pesangon Pekerja dari Program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) Sekitar 45%
Timboel menyayangkan formulasi perhitungan upah minimum provinsi yang berpotensi menurunkan persentase kenaikan upah minimum.
Sebab, perhitungan yang awalnya hanya berdasarkan pertumbuhan ekonomi atau inflasi, ternyata ditambah lagi faktor – faktor lainnya yang justru berpotensi mengurangi kenaikan persentase tersebut.
Faktor lainnya yang masuk itu diantaranya rata – rata konsumsi per kapita, rata – rata banyaknya anggota rumah tangga, rata – rata banyaknya anggota rumah tangga yang bekerja. Serta median upah yang didapat dari perhitungan batas atas dan batas bawah upah minimum.
Hal ini terdapat dalam pasal 26 RPP pengupahan. “Pasal 26 ini bagaimana upayanya bisa menekan (persentase kenaikan) upah minimum,” ujar dia.
Tidak hanya itu, upah minimum kabupaten/kota yang ada saat ini berpotensi menurun. Hal ini dimungkinkan karena upah minimum kabupaten/kota nantinya akan dilakukan penyesuaian. Namun perhitungan penyesuaian upah minimum kabupaten/kota berdasarkan nilai pertumbuhan ekonomi atau inflasi tingkat provinsi. Hal ini tercantum dalam pasal 34 RPP pengupahan.
“Penyesuaian upah minimum kabupaten/kota, tapi menggunakan tingkat inflasi provinsi atau pertumbuhan ekonomi provinsi. Ini kan tidak nyambung. Harusnya kan menggunakan kabupaten/kota yang bersangkutan. Pasal 34 memungkinkan upah minimum kabupaten/kota yang ada saat ini bisa turun,” jelas dia.
Timboel menilai, jika upah minimum turun maka menyebabkan konsumsi pekerja turun. Hal ini kontraproduktif dengan tujuan UU cipta kerja yang ingin mengerek pertumbuhan ekonomi nasional. Pasalnya tingkat konsumsi berkontribusi besar pada pertumbuhan ekonomi nasional.
“Ini akhirnya membuat daya beli akan berkurang. Ini yang akan bermasalah kedepan dan ini akan menciptakan konflik. Ini harus dikaji lagi,” ujar dia.
Komite Tetap Ketenagakerjaan Kadin Indonesia, Bob Azam mengatakan, formulasi perhitungan upah minimum dalam RPP tersebut lebih representatif karena banyak hal yang dipertimbangkan. Berbeda dengan PP 78/2015 yang merupakan simplifikasi antara pertumbuhan ekonomi dan inflasi nasional.
Baca Juga: Besaran manfaat program jaminan kehilangan pekerjaan sudah disepakati dalam RPP
“Justru banyak menimbulkan masalah, banyak perusahaan yang nggak bisa memenuhi,” kata Bob kepada Kontan.
Bob menyatakan, perhitungan upah minimum provinsi saat ini akan lebih menggambarkan kondisi riil upah setiap provinsinya. Seperti diketahui, formulasi upah minimum provinsi dalam RPP menggunakan indikator pertumbuhan ekonomi atau inflasi tingkat provinsi.
Hal ini berbeda dengan yang ada dalam PP 78/2015 yang menggunakan pertumbuhan ekonomi dan inflasi nasional.
Selain itu, Bob mengatakan, penyesuaian upah minimum kabupaten/kota yang menggunakan indikator pertumbuhan ekonomi atau inflasi tingkat provinsi agar membuat tidak jauhnya perbedaan upah minimum antar satu kabupaten/kota dengan kabupaten/kota lainnya
“(Saat ini) upah antar daerah jomplang (perbedaannya),” tutur Bob.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News