kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.539.000   0   0,00%
  • USD/IDR 15.740   20,00   0,13%
  • IDX 7.492   12,43   0,17%
  • KOMPAS100 1.159   4,94   0,43%
  • LQ45 920   6,72   0,74%
  • ISSI 226   -0,39   -0,17%
  • IDX30 475   4,06   0,86%
  • IDXHIDIV20 573   5,12   0,90%
  • IDX80 133   0,95   0,72%
  • IDXV30 141   1,37   0,98%
  • IDXQ30 158   1,02   0,65%

RI Diminta Mendefinisikan Kembali Kebijakan Luar Negeri Bebas Aktif, Ini Alasannya


Selasa, 09 Januari 2024 / 16:54 WIB
RI Diminta Mendefinisikan Kembali Kebijakan Luar Negeri Bebas Aktif, Ini Alasannya
ILUSTRASI. Menteri Luar Negeri Republik Indonesia, Retno Marsudi, menyampaikan pencapaian kinerja diplomasi Indonesia dalam sembilan tahun terakhir selama Ia menjabat sebagai Menteri Retno Marsudi mengklaim berhasil mengukuhkan posisi Indonesia di pasar global. Ia juga menyampaikan hal ini saat menggelar konferensi pers di Gedung Merdeka, Bandung, Jawa Barat, Senin (8/1/2023) tempat bersejarah penyelenggaraan Konferensi Asia Afrika pertama yang digelar tahun 1955. FOTO: KONTAN / Syamsul Ashar


Reporter: Leni Wandira | Editor: Yudho Winarto

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Peneliti Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Muhammad Habib menilai, pemerintah perlu mendefinisikan ulang soal kebijakan luar negeri bebas aktif.

Pernyataan itu merespon meningkatnya rivalitas antara Amerika Serikat (AS) dan China menjadi tantangan terbesar bagi Indonesia.

"Idealnya harus berpikir strategis dan mendefinisikan ulang kebijakan luar negeri yang bebas aktif itu seperti apa di tengah kompetisi yang ada," kata Habis saat dihubungi kontan, Selasa (9/1).

Baca Juga: Prabowo Siap Lanjutkan Sistem Politik Luar Negeri Bebas Aktif di Kancah Global

Menurutnya, kebijakan bebas aktif sejauh ini hanya sebatas narasi yang digaungkan oleh pemerintah Indonesia dalam menghadapi rivalitias AS dan Tiongkok.

"Bebas aktif hanya sekadar narasi saja. Padahal kebijakan bebas aktif juga penting untuk sampai ke tingkat dalam negeri sampai misalnya kebijakan investasi, perdagangan dan industri," ujar dia.

Kata dia, kebijakan luar negeri yang bebas aktif dan pendekatan yang mengedepankan hubungan baik dengan seluruh negara, bukan berarti risiko terdampak tidak ada. 

Risiko tersebut datang dalam bentuk lain yakni persoalan akses pasar bagi mineral Indonesia berikut olahannya yang perlu dilihat dari dua arah. 

Contohnya, dari sisi permintaan, terdapat upaya negara-negara maju untuk mengurangi ketergantungan rantai nilai mineral global dari China menuju negara-negara yang lebih bersahabat (friendshoring) baik didasarkan pada pertimbangan nilai (value-based) ataupun pandangan geopolitik yang sama (like-minded). 

"Salah satu praktiknya terlihat ketika Amerika Serikat, kelompok G-7, dan mitra lainnya menggagas inisiatif minilateralisme baru — Mineral Security Partnership (MSP) di tahun 2022 untuk mengoordinasikan upaya tersebut," jelas dia.

Baca Juga: Kapitalisme Global dan Kesenjangan Sosial

Tidak hanya itu, MSP juga mengadopsi standarisasi pengolahan mineral tersendiri melalui Prinsip-Prinsip untuk Rantai Pasok Mineral Kritis yang Bertanggung Jawab.

"Seingga menambah komplikasi bagi negara-negara pemilik dan pengolah mineral untuk menjadi bagian rantai pasok ini," lanjutnya.

Pemerintah sejauh ini hanya bersifat pragmatis jangka pendek menyangkut investasi asing masuk ke sejumlah sektor-sektor ini. 

Tetapi bukan mengejar pada pertimbangan investasi yang secara jangka panjang mungkin dapat membantu Indonesia menavigasi tren pelepasan (de-coupling) ataupun pengurangan risiko (de-risking) antara China dan negara-negara Barat.

Apabila terus berlanjut, situasi ini ber-risiko memperkecil daya saing ataupun bahkan peluang produk Indonesia untuk mengakses pasar dari negara-negara yang mengadopsi pertimbangan geopolitik dalam rantai nilai mineralnya. 

Termasuk di antaranya pasar AS yang melalui IRA hanya memberikan insentif fiskal untuk kendaraan listrik dengan produksi akhir di kawasan Amerika Utara. Serta dengan bahan baku mineral kritis dari kawasan Amerika Utara atau mitra kesepakatan perdagangan.

IRA juga mengharuskan tidak ada komponen baterai kendaraan listrik di pasar AS yang diproduksi oleh Foreign Entity of Concern (FEOC), termasuk Tiongkok, per tahun 2024.

Serta tidak ada lagi kendaraan listrik di pasar AS yang komponen mineral kritisnya diekstraksi, diproses, serta diolah kembali oleh FEOC per tahun 2025.

"Akan sulit bagi Indonesia untuk mewujudkan mimpi menjadi hub kendaraan listrik global jika persoalan dominasi investasi dari sejumlah mitra pada sejumlah rantai pasok tidak segera diatasi," ujarnya.

Baca Juga: Apa Arti Geopolitik untuk Sebuah Negara? Alasan Penting dan Contoh di Indonesia

Lebih dari persoalan daya saing dan akses pasar, risiko yang lebih besar adalah fleksibilitas dalam pengambilan kebijakan luar negeri Indonesia. 

Akan menjadi lebih menantang bagi Indonesia untuk mempertahankan doktrin kebijakan luar negeri yang bebas aktif jika agenda hilirisasi mineral dalam negeri cenderung didominasi oleh investasi dari suatu negara saja.

"Kebijakan luar negeri bebas aktif sendiri tidak akan cukup membantu Indonesia menjawab tren minilateralisme tersebut," kata dia.

Lebih lanjut, Indonesia mungkin masih dapat mengimpor barang dan jasa dari seluruh dunia, tetapi tidak dengan mengekspor produk-produknya secara kompetitif. 

Kebijakan luar negeri bebas aktif perlu juga diimbangi dengan kebijakan domestik yang mampu mendukung dilakukannya diversifikasi negara asal investasi asing dan menarik keterlibatan dari sektor swasta. 

"Untuk memastikan terjadinya progres industrial, kebijakan Indonesia perlu memastikan kepastian hukum bagi investasi mineral yang cenderung bersifat jangka panjang, kesepahaman antara kementerian/lembaga mengenai rencana industrialisasi mulai dari yang membidangi urusan ekonomi sampai urusan luar negeri, serta rasa keterdesakan (sense of urgency) untuk beradaptasi dengan tren global yang ada," ujarnya.

Sementara itu, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) melakukan survei “Persepsi Elit Indonesia Mengenai Rivalitas China-AS di Indo Pasifik.”

Peneliti Pusat Riset Politik Emilia Yustiningrum mengatakan bahwa elite pemerintah juga sepakat bahwa rivalitas AS dan China sangat berpengaruh di Indonesia, salah satunya di bidang politik. 

Baca Juga: Apa Itu Alutsista? Ini Contohnya di TNI AD, AU, AL, dan Anggaran Alutsista Kemenhan

"Pengaruh China bisa terlihat dari kesepakatan mengenai kereta cepat Jakarta-Bandung, energi di Kalimantan Utara, pertambangan di Sulawesi Tenggara, serta pariwisata di Bali. Itu punya pengaruh signifikan," katanya.

Sedangkan, dalam soal pertahanan keamanan, AS lebih memberi pengaruh pada Indonesia dibanding China. 

Kendati begitu, adanya persaingan antara AS dan China, kerja sama dengan keduanya masih dianggap menguntungkan bagi Indonesia.

Survei itu juga menunjukkan para responden sepakat bahwa rivalitas AS-China mempermudah Indonesia menjalin kemitraan strategis dengan negara besar, dalam konteks kerja sama, tanpa harus menjadi anggota aliansi dari salah satu pihak.

"Mereka juga sependapat ASEAN mengenai Indo Pasifik masih dibutuhkan untuk menghadapi rivalitas AS-China," pungkasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Survei KG Media

TERBARU
Kontan Academy
Advokasi Kebijakan Publik di Era Digital (Teori dan Praktek) Mengenal Pentingnya Sustainability Reporting

[X]
×