kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.919.000   13.000   0,68%
  • USD/IDR 16.249   -5,00   -0,03%
  • IDX 7.047   42,07   0,60%
  • KOMPAS100 1.029   8,11   0,79%
  • LQ45 786   6,95   0,89%
  • ISSI 231   0,98   0,43%
  • IDX30 406   4,77   1,19%
  • IDXHIDIV20 470   5,25   1,13%
  • IDX80 116   1,04   0,90%
  • IDXV30 117   1,12   0,96%
  • IDXQ30 131   1,74   1,35%

Bukan Solusi, Penundaan Tarif AS Justru Akan Membuat Ekspor Indonesia Makin Tertekan


Minggu, 13 Juli 2025 / 16:03 WIB
Bukan Solusi, Penundaan Tarif AS Justru Akan Membuat Ekspor Indonesia Makin Tertekan
ILUSTRASI. Suasana bongkar muat petikemas di Jakarta International Container Terminal (JICT), Rabu (9/7/2025). Pemerintah Amerika Serikat (AS) memastikan tetap memberlakukan tarif impor sebesar 32% untuk seluruh produk asal Indonesia yang masuk ke pasar AS. Kebijakan ini akan mulai berlaku pada 1 Agustus 2025. (KONTAN/Cheppy A. Muchlis)


Reporter: Indra Khairuman | Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti

KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Penundaan tarif oleh Amerika Serikat (AS) terhadap produk-produk yang diekspor Indonesia menimbulkan ketidakpastian yang bisa mengancam hubungan dagang dalam jangka waktu panjang. Jika tidak dikeloladengan diplomasi yang tepat, Indonesia bisa mengalami risiko struktural yang signifikan, termasuk dampak negatif pada sektor industri dan kestabilan ekonomi nasional.

M Rizal Taufikurahman, Kepala Pusat Makroekonomi dan Keuangan Institute for Development of Economics and Finance (Indef), mengatakan bahwa penundaan tarif 32% yang akan ditetapkan AS terhadap berbagai produk ekspor Indonesia sebenarnya hanya menambah ketidakpastian, bukan menjadi solusi untuk masalah.

“Dalam arsitektur dagang global yang kiar bersifat hegemonic dan berbasis kalkulasi elektoral domestik negara maju, kebijakan semacam ini lebih merefleksikan logika politik internal Washington ketimbang niatan memperbaiki hubungan bilateral secara jangka panjang,” ujar Rizal kepada Kontan.co.id, Minggu (13/7).

Baca Juga: Airlangga Tegaskan Indonesia Tak Terkena Tambahan Tarif 10% dari AS

Ia menjelaskan juga bahwa situasi ini harus dipandang sebagai kesempatan yang terbatas untuk melakukan konsolidasi, bukan untuk relaksasi.

“Karena sesungguhnya, jika negosiasi tidak berujung pada kejelasan permanen, maka risiko struktural akan tetap mengintai,” jelas Rizal.

Rizal mengingatkan bahwa jika penundaan ini berlarut-larut dan tidak ditangani dengan diplomasi ekonomi yang akurat, maka hubungan perdagangan antara Indonesia dengan AS jadi hanya semacam relasi transaksional yang rentan dengan tekanan sepihak.

“Indonesia akan menghadapi skenario berulang, dimana setiap perubahan siklus politik di AS berimplikasi langsung terhadap sektor industri dalam negeri,” kata Rizal.

Baca Juga: Ekspor Industri Manufaktur Indonesia Bisa Tertekan Tarif 32% dari Donald Trump

Ia menekankan bahwa industri yang paling terdampak tidak hanya bisa dilihat dari volume ekspor ke AS, tapi juga dari struktur biaya dan ketergantungan pada margin harga yang sangat tipis.

“Sektor TPT (Tekstil dan Produk Tekstil), alas kaki, hingga produk olahan berbasis agro dan elektronik ringan adalah kelompok yang rentan, di mana sebagian besar masih sangat tergantung pada preferensi tarif untuk mempertahankan daya saingnya,” tegas Rizal.

Untuk negosiasi kedepannya, Rizal memberikan saran bahwa Indonesia harus berhenti bersikap defensif.

“Indonesia perlu berhenti bersikap defensif dan mulai menata ulang strategi diplomasi dagang yang lebih ofensif namun terukur,” ucap Rizal.

Baca Juga: Pemerintah Pilih Opsi Ini Apabila Tetap Dikenakan Tarif 32% Oleh AS

Ia menegaskan bahwa jika hal terburuk terjadi, seperti kegagalan negosiasi sebelum batas waktu, risiko yang akan dihadapi bukan hanya penurunan ekspor.

“Tetapi lebih dalam dari itu, seperti terjadi pelemahan struktur manufaktur nasional akibat eksodus industri, pengurangan tenaga kerja di sektor padat karya, serta potensi deindustrialisasi dini,” ujar Rizal.

Rizal mengingatkan juga bahwa dampak limpahan bisa menekan stabilitas neraca transaksi berjalan, melemahkan posisi rupiah, serta menciptakan kesan bahwa Indonesa adalah mitra dagang yang berisiko tinggi akibat ketidakpastian dalam relasi perdagangan dengan negara-negara utama.

“Artinya, yang dipertaruhkan bukan hanya ekspor semata, tapi posisi strategis Indonesia dalam konfigurasi ekonomi politik global ke depan,” tambah Rizal.

Baca Juga: Ini 3 Permintaan AS agar Tarif Impor 32% Indonesia Dihapus

Selanjutnya: Langkah-Langkah yang Perlu Dilakukan untuk Menyiapkan Dana Pendidikan Sejak Dini

Menarik Dibaca: Apakah Jurusan Bahasa Terancam Tergusur AI atau Tidak? Ini Sederat Faktanya

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
[Intensive Workshop] AI-Driven Financial Analysis Executive Finance Mastery

[X]
×