kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.909.000   5.000   0,26%
  • USD/IDR 16.295   -7,00   -0,04%
  • IDX 7.195   81,43   1,14%
  • KOMPAS100 1.050   12,06   1,16%
  • LQ45 811   9,77   1,22%
  • ISSI 232   2,45   1,07%
  • IDX30 422   5,02   1,20%
  • IDXHIDIV20 495   5,35   1,09%
  • IDX80 118   1,33   1,14%
  • IDXV30 120   1,66   1,39%
  • IDXQ30 136   1,32   0,98%

Revisi Garis Kemiskinan Bank Dunia Picu Evaluasi Standar Nasional


Selasa, 10 Juni 2025 / 06:27 WIB
Revisi Garis Kemiskinan Bank Dunia Picu Evaluasi Standar Nasional
ILUSTRASI. JAKARTA,18/08-ATASI KEMISKINAN JELANG PILKADA JAKARTA. Warga dengan membawa tiga anaknya melintas di pemukiman kumuh kawasan Tanah Tinggi, Jakarta, Kamis (18/08). Jelang perhelatan pemilihan gubernur DKI Jakarta 2017 mendatang diharapkan kepada calon yang mendaftarkan diri menjadi gubernur agar dapat menampung aspirasi masyarakat kelas bawah yang dianggap kurang mendapatkan perhatian dari segi kesejahteraan bagi mereka yang hidup di bawah garis kemiskinan. KONTAN/Fransiskus Simbolon/18/08/216


Reporter: Nurtiandriyani Simamora | Editor: Yudho Winarto

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Perubahan metode penghitungan garis kemiskinan internasional oleh Bank Dunia memicu diskusi hangat di kalangan ekonom Indonesia.

Para ekonom mendorong agar Badan Pusat Statistik (BPS) turut menyesuaikan ukuran garis kemiskinan nasional yang dinilai sudah tidak relevan dengan kondisi ekonomi saat ini.

Bank Dunia kini menetapkan garis kemiskinan baru sebesar US$ 8,30 per orang per hari untuk negara berpendapatan menengah atas seperti Indonesia.

Perubahan ini membuat estimasi jumlah penduduk miskin di Indonesia melonjak drastis menjadi 194,4 juta orang atau 68,91% dari total populasi.

Namun, Ekonom Senior dan Guru Besar IPB Didin S. Damanhuri menilai standar tersebut terlalu tinggi.

Baca Juga: BPS Klaim Perhitungan Garis Kemiskinan Indonesia Cerminkan Kebutuhan Riil Masyarakat

Ia menyoroti bahwa klasifikasi negara berpendapatan menengah atas oleh Bank Dunia berada pada kisaran US$ 4.096–US$ 12.695 per kapita per tahun, sedangkan pendapatan per kapita Indonesia saat ini hanya US$ 5.026.

Di sisi lain, garis kemiskinan yang digunakan BPS selama lebih dari dua dekade, yaitu sekitar US$ 1 per hari, juga dianggap sudah terlalu rendah dan tidak mencerminkan realitas sosial ekonomi saat ini.

Berdasarkan metode ini, jumlah penduduk miskin Indonesia tercatat hanya 24,06 juta orang atau 8,57%, angka yang dinilai tidak realistis.

"Ukuran garis kemiskinan Bank Dunia sebesar US$ 6,85 per hari, atau sekitar Rp 115.080 per hari, berarti setara Rp 3,45 juta per bulan. Itu terlalu tinggi jika dibandingkan dengan GDP per kapita Indonesia yang masih US$ 5.026," ujar Didin kepada Kontan.co.id, Senin (9/6).

Menurutnya, pendekatan yang lebih realistis adalah menggunakan garis kemiskinan internasional untuk negara berpendapatan rendah, yakni US$ 2,15 per hari, atau setara Rp 36.120 per hari (sekitar Rp 1,08 juta per bulan).

Dengan patokan ini, jumlah penduduk miskin Indonesia diperkirakan mencapai 81,6 juta jiwa atau 28,6% dari populasi nasional.

"Kalau pakai standar ini, ukuran kemiskinan kita lebih masuk akal dan mencerminkan daya beli serta struktur ekonomi Indonesia yang sesungguhnya," tegas Didin.

Baca Juga: Penurunan Penduduk Miskin di September 2024 Karena Garis Kemiskinan Naik

Perlu Revisi Garis Kemiskinan Nasional

Sementara itu, Ekonom dan Direktur Eksekutif Segara Research Institute, Piter Abdullah, menyambut baik langkah Bank Dunia merevisi garis kemiskinan internasional.

Menurutnya, hal ini penting untuk mendapatkan gambaran kemiskinan global yang lebih akurat.

Ia mencatat bahwa sekitar 70% negara berpenghasilan rendah telah merevisi garis kemiskinan mereka pada periode 2017–2021, dan menjadi dasar bagi Bank Dunia menaikkan standar garis kemiskinan ekstrem dari US$ 2,15 menjadi US$ 3 per hari.

Piter menilai Indonesia perlu segera mempertimbangkan revisi garis kemiskinan nasional yang saat ini masih berada di level Rp 595.000 per orang per bulan.

Ia membandingkan, garis kemiskinan ekstrem internasional yang merupakan median di 23 negara termiskin telah mencapai Rp 546.000 per bulan, nyaris setara dengan standar nasional Indonesia saat ini.

"Garis kemiskinan kita memang sudah seharusnya disesuaikan, sebagaimana dilakukan banyak negara lain, agar potret kemiskinan lebih valid dan kebijakan pemerintah bisa lebih tepat sasaran," kata Piter.

Baca Juga: BPS: Garis Kemiskinan Pada September 2024 Meningkat

Ia menambahkan, revisi metode penghitungan garis kemiskinan baik secara nasional maupun merujuk pada standar Bank Dunia akan berdampak signifikan terhadap penyusunan kebijakan sosial dan program penanggulangan kemiskinan.

Jika garis kemiskinan tetap terlalu rendah, maka data resmi akan gagal mencerminkan realitas masyarakat.

Sebaliknya, jika terlalu tinggi, negara akan menghadapi tekanan fiskal yang besar dalam mendistribusikan bantuan sosial dan program pemberdayaan ekonomi.

"Yang penting, metode pengukurannya harus realistis dan disesuaikan dengan konteks ekonomi Indonesia," pungkas Didin.

Selanjutnya: Pembicaraan Dagang dan Mineral AS-China di London Berlanjut ke Hari Kedua

Menarik Dibaca: Kumpulan Promo McD Mantap Juni 2025, Paket 1 PaNas 2 Krispy Hanya Rp 36.000-an

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
AYDA dan Penerapannya, Ketika Debitor Dinyatakan Pailit berdasarkan UU. Kepailitan No.37/2004 Banking Your Bank

[X]
×