Reporter: Gloria Fransisca | Editor: Dikky Setiawan
JAKARTA. Gerakan Sejuta Relawan Pengawas Pemilu, Pokjanas, melihat ada indikasi keterlambatanĀ dalam proses rekapitulasi suara hasil pemilihan legislatif (Pileg).
Rekapitulasi suara itu dikhawatirkan melewati batas yang ditentukan Undang-Undang Pemilihan Umum (7/4). Hal ini ditakutkan oleh Pokjanas akan menjerat para penyelenggara Pemilu.
Menurut Yusfitriadi, koordinator Gerakan Sejuta Relawan Pengawas Pemilu, sejak tanggal 26 April sampai 7 Mei, dimana proses rekapitulasi suara sudah berjalan 13 hari, KPU baru menyelesaikan rekapitulasi di 14 provinsi.
Sementara, berdasarkan ketentuan, batas waktu rekapitulasi suara sampai dengan 9 Mei 2014. Karena itu, Yusfitriadi memperkirakan, jika dalam kurun waktu 13 hari KPU hanya bisa menyelesaikan 14 provinsi, maka bisa saja hasil rekapitulasi nasional tidak terselesaikan.
"Ketika tidak bisa menyelesaikan sampai waktu tanggal 9 Mei, maka rekapitulasi suara berpotensi terlambat. Konsekuensinya, penyelenggara Pemilu berpotensi melanggar UU Pemilu. Karena itu, kami mencoba memberikan antisipasi, karena keterlambatan ini menyangkut Undang-Undang," ungkap Yusfitriadi.
Gerakan Sejuta Relawan Pengawas Pemilu ini pun mengamati berbagai macam masalah yang mengintai penyelenggara Pemilu dan penegak hukum. Sehingga, lembaga kepolisian serta Bawaslu diimbau jangan hanya melihat administratif pelanggaran, tetapi tidak melihat keseluruhan proses, seperti pelanggaran pengalihan suara dan juga pengusutan jumlah DPT.
"Oleh sebab itu, kami melihat penyelenggara Pemilu tidak punya kapasitas dalam kehati-hatian dan kecermatan sehingga berpotensi melanggar UU. Dalam kondisi ini, kami melihat rawannya kompromi politik, sebagaimana kemudian KPU dikejar deadline dan tidak mau dijerat UU," imbuh Yusfitriadi.
Kompromi politik yang dikhawatirkan terjadi antata KPU, Bawaslu, dan partai politik untuk meloloskan berbagai pelanggaran yang menghambat rekapitulasi dengan dalih menyelamatkan Pemilu.
Untuk itu, Yusfitriadi memberikan beberapa rekomendasi, yakni masyarakat, pemantau, media, mengawasi agar jangan sampai terjadi kompromi politik. Pemilu selamat tanpa ada pelanggaran pidana.
Dalam pengamatan para relawan, kompromi politik sudah terjadi di beberapa provinsi. Sayangnya, ketika di daerah atau provinsi terlanjur dikompromikan, lalu di bawa ke nasional dan menjadi tumpukan kesalahan di tingkat pusat.
"Indikasi kompromi itu seperti contohnya, money politic, lalu pengabaian penggelembungan suara, dan pelanggaran administratif hanya karena mengejar deadline," tambahnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News