kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45919,51   10,20   1.12%
  • EMAS1.350.000 0,00%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Pusat evaluasi Perda Pajak Daerah bermasalah


Kamis, 11 Mei 2017 / 18:59 WIB
Pusat evaluasi Perda Pajak Daerah bermasalah


Reporter: Adinda Ade Mustami | Editor: Yudho Winarto

JAKARTA. Pemerintah melalui Direktorat Jenderal (Ditjen) Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan (Kemkeu) kembali melakukan pemantauan dan evaluasi peraturan daerah (perda) yang bermasalah, khususnya perda yang terkait dengan pajak daerah dan retribusi daerah (PDRD).

Sebab, pemerintah menemukan masih banyaknya perda PDRD yang tumpang tindih dengan aturan pemerintah pusat dan bertentangan dengan kepentingan umum.

Direktur Jenderal (Dirjen) Perimbangan Keuangan Kemkeu Boediarso Teguh Widodo mengatakan, sejak Undang-Undang (UU) Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, pemerintah jarang menyampaikan perda ke pemerintah pusat. Oleh karena itu, pemerintah hanya mengetahui adanya perda bermasalah dari keluhan masyarakat dan pengusaha.

Sementara itu, hasil pemantauan yang dilakukan pihaknya saat ini, akan disampaikan secara periodik bulan Juli dan Desember mendatang.

"Saat ini kami sedang melakukan rekonsiliasi data perda kabupaten atau kota seluruh Indonesia dengan provinsi dan selanjutnya perda-perda tersebut akan dievaluasi, sehingga jika terdapat masalah akan direkomendasikan ke daerah untuk direvisi," kata Boediarso kepada KONTAN, Rabu (10/5).

Ia melanjutkan, selama ini Kementerian Dalam Negeri (Kemdagri) berkoordinasi dengan Kemkeu dalam melakukan evaluasi Perda PDRD provinsi. Hasilnya lanjut dia, sebagian perda masih perlu direvisi karena perluasan objek pajak daerah dan retribusi daerah yang dibuat pemerintah daerah tidak sesuai ketentuan yang ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.

"Seperti pengenaan pajak parkir terhadap pelayanan valet, dan pajak restoran terhadap toko roti, keduanya merupakan objek PPN (Pajak Pertambahan Nilai) atau menjadi pajak pusat," tambahnya.

Berdasarkan data pihaknya, pada tahun 2016, sebanyak 3.391 perda direvisi atau dibatalkan. Dari jumlah itu, perda tentang PDRD mencapai 1.559 perda, yang terdiri dari 43 Perda PDRD provinsi yang direvisi atau dibatalkan menteri dalam negeri dan 1.516 Perda sisanya merupakan Perda PDRD kabupaten atau kota yang revisi atau dibatalkan oleh gubernur.

Menurut Boediarso, perda tentang pajak daerah yang direvisi atau dibatalkan umumnya terkait dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) 52/PUU/IX, yang membatalkan golf sebagai objek pajak hiburan.

Sementara perda yang terkait dengan retribusi daerah yang direvisi atau dibatalkan umumnya berupa retribusi menara telekomuikasi sesuai putusan MK 46/PUU-XII/2014 dan retribusi penggantian biaya cetak Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan akta catatan sipil yang bertentangan dengan UU 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan.

Tahun ini sendiri, pihaknya baru merekomendasikan dua perda untuk direvisi oleh pemerintah daerah. Pertama, Perda Kabupaten Bogor Nomor 29 Tahun 2011 tentang Retribusi Jasa Usaha, terkait dengan pengenaan retribusi atas pemanfaatan ruang milik jalan dan retribusi dikenakan terhadap masyarakat yang menggunakan trotoar untuk akses jalan ke rumah.

Kedua, Perda Kota Banjarbaru Nomor 3 Tahun 2011 tentang Pajak Restoran, yang mengenakan Breadtalk sebagai objek pajak restoran, yang merupakan objek PPN.

"Surat permintaan revisi perda tersebut disampaikan dalam rangka pembinaan, dan apabila tidak ditaati, maka akan ditindaklanjuti dengan peninjauan kembali (judicial review) ke Mahkamah Agung (MA)," tambah Boediarso. Sebab, mulai tahun ini Kementerian Dalam Negeri tak lagi memiliki wewenang untuk membatalkan Perda.

Berdasarkan putusan MK nomor 137/PUU-13/2015 yang diumumkan tahun 2017, kewenangan pembatalan Perda dilakukan oleh MA melalui mekanisme judicial review oleh pihak-pihak yang dirugikan, yaitu perorangan, kesatuan masyarakat hukum adat, badan hukum publik, dan badan hukum privat.

Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Robert Endi Jaweng mengatakan, selama ini banyak perda yang bermasalah dan bertentangan dengan kepentingan umum, terutama yang membebani pengusaha kecil maupun kelas menengah. Data KPPOD, dari 1.000 perda yang dikaji, terdapat 262 perda bermasalah.

Lebih lanjut Endi mengatakan, persoalan tumpang tindihnya Perda PDRD hanyalah persoalan administrasi. Hasil kajian KPPOD di lapangan, terdapat perda-perda yang tergolong bermasalah berat.

"Di Cilegon, ada perusahaan yang harus membayar pajak penerangan jalan hingga Rp 72 miliar per tahun karena mereka memiliki pembangkit listrik. Padahal listrik seharusnya menjadi infrastruktur yang difasilitasi pemerintah," kata Endi kepada KONTAN.

Lebih parah lagi lanjut dia, ada pula perusahaan yang menbayar pajak penerangan jalan, tetapi ternyata pemerintah daerahnya tidak membangun penerangan jalan di daerah tersebut.

Endi juga mengatakan, pihaknya mengapresiasi pemantauan dan evaluasi yang dilakukan pemerintah pusat. Namun menurutnya, hal tersebut masih kurang dari cukup.

Pihaknya berharap, pemerintah daerah memiliki kesadaran dan komitmen membenahi aturan-aturannya, khususnya setelah mendapat rekomendasi pemerintah pusat. Mengingat, saat ini pemerintah pusat tak lagi memiliki wewenang membatalkan atau merevisi perda-perda.

Endi juga berharap, MA sebagai lembaga hukum yang kini berwenang atas pembatalan perda, bekerjasama dengan lembaga studi yang memiliki data yang kuat di lapangan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×