Reporter: Dendi Siswanto | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID-JAKARTA. Praktisi perpajakan sekaligus Founder DDTC Darussalam mengungkapkan banyaknya titik kebocoran pajak yang selama ini menggerus penerimaan negara.
Mulai dari praktik shadow economy, penghindaran pajak lintas negara, hingga pajak terutang yang tidak dibayarkan.
Darussalam mengatakan, Indonesia menjadi salah satu negara dengan tingkat shadow economy terbesar di dunia. Ekonomi bayangan ini mencakup aktivitas ekonomi yang tidak tercatat maupun ilegal.
"Jadi ketika di dalam konteks transaksi ekonominya kita sudah mengalami kebocoran apa yang kita sebut sebagai shadow economy," ungkap Darussalam dalam Webinar ISEI, Selasa (26/8/2025).
Baca Juga: 20% Aset WNI di Luar Negeri Tak Terdeteksi Pajak, Singapura hingga Swiss Jadi Tujuan
Darussalam mengungkapkan, shadow economy Indonesia mencapai 23,8% dari Produk Domestik Bruto (PDB).
Jika dibandingkan dengan negara lain, Indonesia nomor dua setelah India, lalu diikuti Brasil, China, Meksiko, Turki dan Rusia.
Darussalam mengingatkan, dalam konteks kegiatan ilegal, Indonesia rata-rata mengalami kebocoran 2,7% dari total PDB. Adapun aktivitas perjudian dan prostitusi termasuk di dalamnya.
"Ini yang jadi tantangan kita bagaimana hal-hal yang sifatnya ilegal itu bisa kita pajaki. Tapi tidak dalam konteks kita melegalkan hal-hal yang sudah memang ilegal tersebut. Tapi jangan sampai pajaknya juga tidak terambil atau tidak kita terima," katanya.
Selain itu, kebocoran juga terjadi lewat praktik offshore tax evasion, yakni penempatan aset wajib pajak Indonesia di negara-negara surga pajak seperti Singapura, Hong Kong, dan Swiss. Adapun data tax amnesty 2016–2017 mengonfirmasi fenomena ini.
"Yang sangat mencengangkan bahwa kegiatan menempatkan aset di negara-negara yang saya sebutkan tadi itu sebanyak sekitar 20% tidak terdeteksi oleh otoritas pajak. Nah ini yang menjadi tantangan bagi Indonesia," katanya.
Baca Juga: Targetkan Tax Ratio 10,47% PDB Tahun Depan, Begini Strategi Kemenkeu
Kebocoran lain datang dari praktik base erosion and profit shifting (BEPS), melalui skema transfer pricing, treaty shopping, maupun thin capitalization.
Berdasarkan penelitian, Indonesia bisa kehilangan potensi penerimaan Pajak Penghasilan (PPh) hingga Rp 23 triliun-Rp 28,6 triliun per tahun akibat praktik ini.
Darussalam juga menyoroti kebijakan kompetisi pajak lewat pemberian berbagai insentif fiskal.
Ia menilai, jumlah belanja perpajakan (tax expenditure) yang diproyeksikan mencapai Rp 530 triliun pada 2025 perlu lebih selektif dan memiliki narasi publik yang jelas.
Sementara itu, kebocoran kelima terjadi pada level pajak terutang. Banyak wajib pajak yang sudah memiliki kewajiban, tetapi tidak melaporkan dan tidak membayarkan pajaknya.
"Itulah yang menurut saya menjadi problem terkait dengan sistem pemajakan Indonesia yang menjadi tanggung jawab kita untuk kita bisa kita selesaikan semua," imbuh Darussalam.
Baca Juga: Tax Ratio Indonesia Masih Setara Negara ASEAN, Begini Pejelasan Kemenkeu
Selanjutnya: BI Rate Turun Jadi 5%, BCA Syariah: Penurunan Bunga Kredit Perlu Waktu
Menarik Dibaca: Saatnya Berburu Diskon Tiket Liburan di Astindo Travel Fair 2025
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News