Reporter: Yusuf Imam Santoso | Editor: Noverius Laoli
Padahal, ada regulasi lain yang mengatur bahwa segala bentuk biaya pemeliharaan, layanan, fasilitas, merupakan jasa yang terutang PPh Pasal 23, tarifnya 2%, tidak final, bisa jadi kredit pajak.
Kata Ajib, kenyataanya ada pengusaha yang menyiasati dengan memisahkan biaya-biaya tersebut antara penagihannya, yang sewa dipotong 10% final dengan layanan lainnya 2% tidak final.
Dus, Kantor Pelayanan Pajak (KPP), biasanya meminta perbaiki laporan dan menyetorkan kekurangan pajaknya, karena seharusnya dipotong 10% semuanya.
“Ini tentunya memberatkan dan membingungkan bagi WP, ada regulasi yang satu mengatur satu hal, lainnya mengatur satunya lagu. Padahal objeknya sama. Jadi perlu dipertegas lagi aturannya,” kata Ajib.
Baca Juga: Mengukur dampak diskon PPh 3% terhadap kinerja emiten
Di sisi lain, Pengamat Pajak Danny Darussalam Tax Center (DDTC) Darussalam mengatakan, seiring dengan semakin mudahnya otoritas pajak memperoleh informasi atas profil dan transaksi wajib pajak dalam rangka pengawasan kepatuhan, relevansi PPh final tentu perlu ditinjau kembali.
Kata Darussalam, mekanisme PPh final pada dasarnya berpeluang untuk menimbulkan policy gap. Artinya pungutan pajak tidak optimal dan merefleksikan aktivitas ekonomi di sektor tertentu karena adanya skema PPh final yang notabene berbeda dengan skema dengan tarif umum.
“Untuk pembedaan antara wajib pajak orang pribadi dan badan, kita perlu hati-hati karena adanya pembeda tersebut justru bisa mendistorsi perilaku pasar dan mendorong tax planning,” kata Darussalam kepada Kontan.co.id, Senin (31/8).
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News