kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45899,63   -8,92   -0.98%
  • EMAS1.358.000 -0,37%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

PPh final atas sewa tanah dan bangunan dirombak, apa respons pengusaha?


Senin, 31 Agustus 2020 / 21:02 WIB
PPh final atas sewa tanah dan bangunan dirombak, apa respons pengusaha?
ILUSTRASI. Pertumbuhan Sektor Properti: Pembangunan perumahan kelas menengah di Kawasan Serpong, Banten, Minggu (3/2). Realestat Indonesia (REI) menargetkan pertumbuhan sektor properti pada tahun ini sebesar 10%. REI juga memperkirakan bahwa rumah baik rumah tapak m


Reporter: Yusuf Imam Santoso | Editor: Noverius Laoli

KONTAN.CO.ID -  JAKARTA. Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Kementerian Keuangan (Kemenkeu) akan mengevaluasi pengenaan pajak penghasilan (PPh) Final atas sewa tanah dan bangunan. Hal ini jadi fokus Kebijakan Teknis Perpajakan 2020 dengan pertimbangan untuk penegasan pada regulasi yang multi tafsir.

Sekretaris Jenderal (Sekjen) Real Estat Indonesia (REI) Totok Lusida menanggapi baik adanya evaluasi PPh Final atas sewa tanah dan bangunan. Totok bilang, jenis PPh Final sudah pas, tidak perlu diubah ke dalam ketentuan umum.

“Tetap lebih baik PPh Final, untuk menghindari beda pendapat, mengurangi perbedaan persepsi pembayaran pajak di kemudian hari,” kata Totok kepada Kontan.co.id, Senin (31/8).

Baca Juga: Kemenkeu akan mengevaluasi PPh final atas sewa tanah dan bangunan

Totok berharap, Ditjen Pajak dapat menurunkan tarif PPh Final atas sewa tanah dan bangunan dari 10% menjadi 5%. Alasannya, guna menjadi pemanis investasi di bidang jasa, mengingat saat ini tren penanaman modal dalam negeri dan asing sedang lesu.

Kata Totok, jika dibandingkan dengan tarif PPh Final atas sewa tanah dan bangunan di negara lain, tarif di Indonesia kalah saing. Sebab, rata-rata tarif PPh Final di ASEAN misalnya berkisar di 2,5%-7,5%. Dus, tarif 5% dinilai jadi jalan tengah.

“PPh Final lebih baik diturunkan, dan kita dari REI sudah minta turun sebelumnya dari tiga tahun lalu. Mumpung sekarang pandemi ini bisa membantu dunia usaha dan menggerek investasi,” ujar Totok.

Ketua Badan Pengurus Pusat (BPP) Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi) Bidang Keuangan dan Perbankan Ajib Hamdani menambahkan, biasanya ketentuan jumlah bruto dalam PPh Final atas sewa tanah dan bangunan menjadi pokok masalah.

“Kalau biaya sewanya tentu tidak masalah, tapi karena digabungkan dengan biaya-biaya layanan lainnya, banyak pengusaha keberatan,” kata Ajib kepada Kontan.co.id, Senin (31/8).

Baca Juga: Tidak Semua Emiten dengan Free Float Minimal 40% Bisa Menikmati Diskon Pajak

Sebagai contoh sewa apartemen, gedung perkantoran, virtual office, yang menjadi objek PPh 4 ayat 2) bukan hanya atas nilai sewanya, melainkan juga tambahan biaya penyertanya seperti Iuran Pengelolaan Lingkungan (IPL), biaya layanan, dan tambahan fasilitas lainnya. Semua harus dipotong 10%, final.

Padahal, ada regulasi lain yang mengatur bahwa segala bentuk biaya pemeliharaan, layanan, fasilitas, merupakan jasa yang terutang PPh Pasal 23, tarifnya 2%, tidak final, bisa jadi kredit pajak.

Kata Ajib, kenyataanya ada pengusaha yang menyiasati dengan memisahkan biaya-biaya tersebut antara penagihannya, yang sewa dipotong 10% final dengan layanan lainnya 2% tidak final.

Dus, Kantor Pelayanan Pajak (KPP), biasanya meminta perbaiki laporan dan menyetorkan kekurangan pajaknya, karena seharusnya dipotong 10% semuanya.

“Ini tentunya memberatkan dan membingungkan bagi WP, ada regulasi yang satu mengatur satu hal, lainnya mengatur satunya lagu. Padahal objeknya sama. Jadi perlu dipertegas lagi aturannya,” kata Ajib.

Baca Juga: Mengukur dampak diskon PPh 3% terhadap kinerja emiten

Di sisi lain, Pengamat Pajak Danny Darussalam Tax Center (DDTC) Darussalam mengatakan, seiring dengan semakin mudahnya otoritas pajak memperoleh informasi atas profil dan transaksi wajib pajak dalam rangka pengawasan kepatuhan, relevansi PPh final tentu perlu ditinjau kembali.

Kata Darussalam, mekanisme PPh final pada dasarnya berpeluang untuk menimbulkan policy gap. Artinya pungutan pajak tidak optimal dan merefleksikan aktivitas ekonomi di sektor tertentu karena adanya skema PPh final yang notabene berbeda dengan skema dengan tarif umum.

“Untuk pembedaan antara wajib pajak orang pribadi dan badan, kita perlu hati-hati karena adanya pembeda tersebut justru bisa mendistorsi perilaku pasar dan mendorong tax planning,” kata Darussalam kepada Kontan.co.id, Senin (31/8).

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Success in B2B Selling Omzet Meningkat dengan Digital Marketing #BisnisJangkaPanjang, #TanpaCoding, #PraktekLangsung

[X]
×