Reporter: Adinda Ade Mustami | Editor: Sanny Cicilia
JAKARTA. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) kembali menggelar rapat dengar pendapat umum (RDPU) terkait Rancangan Undang-Undang Pengampunan Pajak atau Tax Amnesty. Kali ini Komisi XI DPR mengundang lembaga penegak hukum serta Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).
Ketua PPATK M Yusuf Ali mengatakan, pihaknya mengusulkan adanya kepastian hukum dalam RUU tersebut. Artinya, jika wajib pajak mendeklarasi harta-harta yang disembunyikannya selama ini maka lembaga penegak hukum yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kepolisian Republik Indonesia (Polri), dan Kejaksaan RI juga perlu mendeklarasikan diri untuk tidak mengutak-atik wajib pajak tersebut.
"Kalau tidak ada deklarasi gitu, mereka akan maju mundur. Masing-masing mereka punya kewenangan tetapi aling tidak harus ada upaya seperti itu," kata Yusuf di DPR, Selasa (26/4).
Selain itu, Yusuf juga mengusulkan agar kewajiban pihak perbankan dalam melaporkan pelaporan transaksi selama ini yang diterima oleh PPATK tetap dilakukan. Yusuf menyebut, laporan transaksi tersebut nantinya bisa digunakan sebagai data pembanding untuk mengetahui akuntabilitas pelaporan harta wajib pajak.
Selama ini, PPATK menerima tiga jenis pelaporan. Pertama transaksi keuangan mencurigakan yang diukur dengan penghasilan yang tidak cocok, atau orang Indonesia tetapi transaksinya menggunakan valas, dan transaksinya bisa empat hingga lima kali dalam satu bulan.
Kedua, transkai keuangan tunai minimal Rp 500 juta, baik satu kali atau beberapa kali transaksi dalam satu hari. Yusuf bilang, sejak 2004 hingga sekarang terdapat 243.000 laporan.
Ketiga, transaksi keuangan keluar masuk Indonesia. Setiap harinya PPATK menerima 25.000 laporan dari transaksi tersebut.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News