Reporter: Arief Ardiansyah, Anastasia Lilin Y, Fransisca Bertha Vistika, Maria Elga Ratri | Editor: Imanuel Alexander
Jakarta. Gedung tua di seberang Bioskop Metropole Megaria di Jalan Diponegoro 64 Jakarta itu tidak seperti kantor, jika tak mengamati beberapa mobil terparkir di sana. Begitu masuk lobi, sama sekali tak ada furnitur penerima tamu, seperti meja dan sofa. Yang ada hanya meja kecil di sudut dekat pintu masuk yang dipakai dua orang satpam. Beberapa kursi tak senada digeletakkan di tepi ruangan. Aroma gedung tua menyeruak.
Gedung berlantai empat bekas kantor bank itu adalah kantor Komisi Hukum Nasional (KHN). Komisi ini memanfaatkan lantai dua hingga empat untuk berbagai divisi, seperti perpustakaan, percetakan, sekretariat, peneliti, dan ruang rapat. Meski tak mewah, ruang rapat berkapasitas 12 orang hingga 15 orang di lantai dua sudah memiliki pendingin udara dan peralatan audio yang cukup memadai. Lift satu-satunya juga masih beroperasi dengan lancar.
Begitulah penampilan kantor sebuah lembaga negara nonstruktural (LNS). Di kantor ini bekerja 34 orang termasuk para komisioner KHN. Lembaga ini berdiri sejak 2000 dengan payung hukum Keputusan Presiden Nomor 15 Tahun 2000.
Lima tahun terakhir, pemerintah merasa tugas KHN sebagai pengkaji sistem hukum untuk penegakan supremasi hukum di Indonesia sudah dilaksanakan instansi lain. Apalagi tugas lain KHN untuk memberikan pendapat atas permintaan presiden tentang berbagai kebijakan hukum yang dibuat atau direncanakan pemerintah, dan tentang masalah-masalah hukum yang berkaitan dengan kepentingan umum serta kepentingan nasional, juga nyaris tak ada. Sempat, anggaran KHN yang biasanya lewat sekretariat Negara tidak nongol.
Inilah yang memunculkan wacana pembubaran KHN oleh pemerintah. Informasi pembubaran tersebut sudah menjadi rahasia umum para pegawai hingga komisioner “Jujur saja, posisi kami galau. Karena, kami ini hanya pegawai honorer,” ujar Agus, pegawai KHN.
Toh, pria yang sudah bergabung dengan KHN sejak tahun 2008 ini masih enggan mencari pekerjaan lain. “Risiko kerja di sini, kami sudah tahu situasinya. Ya, kami jalani saja dengan serius,” kata Agus lirih.
Meski wacana berlangsung bertahun-tahun, masih belum ada keputusan apakah KHN dibubarkan atau tidak. Nyatanya, saat ini KHN malah tengah mengajukan anggaran untuk tahun 2014 mendatang.
Komisioner KHN Mohammad Fajrul Falaakh bilang, lembaganya harus menyiapkan bujet sejak awal sebagai antisipasi, karena tak mudah melakukan perubahan. Di sini, hanya ada bendahara pembantu pemegang keuangan. “Kami pelaksana program saja, jalankan penelitian yang sudah mendapat anggaran,” katanya.
Sepanjang 13 tahun perjalanannya, KHN sudah membuat empat penelitian pengkajian hukum dan 250 rekomendasi kepada presiden, anggota kabinet, dan lembaga-lembaga negara. Komisioner KHN lain, Frans Hendra Winarta membenarkan mandat utama KHN berupa pemberian nasihat hukum kepada presiden sudah tak lagi dilakukan. “Pasca pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, presiden tidak lagi menggunakan jasa KHN,” jelas Frans.
Dari 34 orang di KHN, tak ada satu pun yang berstatus pegawai negeri sipil (PNS). Semua berstatus honorer. Untuk level komisioner seperti Fajrul mendapat honorarium Rp 5 juta per bulan. Angka ini tak berubah sejak zaman Pemerintahan Abdurrahman Wahid.
Total anggaran yang diterima KHN paling besar Rp 11 miliar per tahun. “Kalau melihat jabatan dan nama lembaganya, memang terlihat mentereng. Tapi, dibandingkan dengan komisikomisi lain, fasilitas KHN tentu kalah wah,” kata Fajrul.
Gambaran bangunan tua juga terlihat pada kantor Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). LNS pertama di Indonesia yang berdiri pada 1993 ini menempati kantor di kawasan pemukiman Jalan Latuharhari Nomor 4B Menteng, Jakarta. Model bangunannya semacam dua-tiga rumah yang dijadikan satu untuk kantor.
Komisioner Komnas HAM Nur Kholis menuturkan, lembaganya memiliki empat fungsi yaitu memantau, mendidik, memediasi, dan melakukan penyuluhan seputar HAM. Bisa juga Komnas HAM melakukan penyelidikan atas dugaan pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia. “Walau belum tercapai, kami selalu mengupayakan semua tugas terlaksana dengan baik dengan anggaran dan fasilitas terbatas,” ujar Nur.
Nur menyebut, upaya untuk menilai kinerja dan prestasi Komnas HAM tergolong sulit. Tapi, sebagai tolok ukur, ada International Coordinating Committe of National HumanRights (ICC) yang mengeluarkan penilaian atas kinerja Komnas HAM di seluruh dunia. Dan, Komnas HAM Indonesia memperoleh predikat Grade A.
Menurut Nur, Komnas HAM memiliki 250 pegawai. Angka yang kecil untuk menjangkau wilayah Indonesia yang sangat luas. Tapi, berdasar penelusur-an KONTAN, di sini ada 170 pegawai yang bekerja sehari-hari. Ada 70 PNS dan 100 pegawai tidak tetap (PTT). Honorarium untuk PTT saat ini sebesar Rp 1,7 juta per bulan, di bawah upah minimum Provinsi DKI Jakarta, Rp 2,2 juta per bulan.
Berbeda dengan para PTT, 12 komisioner Komnas HAM justru tengah ceria. Proposal peningkatan honorarium mereka ke pemerintah tembus. Terbukti dengan kehadiran Peraturan Presiden No. 34/2013. Sebelumnya, honorarium komisioner Komnas HAM sekitar Rp 12 juta per bulan. Kini, para komisioner bisa membawa pulang duit bulanan Rp 20,6 juta. Adapun honorarium untuk ketua dan wakil ketua Komnas HAM masing-masing Rp 23,75 juta dan
Rp 22,5 juta per bulan. “Sebenarnya dari gaji relatif, ya. Menjadi bagian dari Komnas HAM, kan, sebenarnya berdasarkan keikhlasan,” kata Nur.
Sulit dibubarkan
Begitulah potret LNS di Indonesia. Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN-RB) mencatat, ada 88 LNS. Adapun Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) menghitung ada 101 LNS. Apapun, jumlah LNS sudah membebani anggaran negara dengan fungsi tumpang tindih atau bahkan menegasikan instansi lain.
Kepala Biro Hubungan Masyarakat Kementerian PAN-RB Muhammad Imanuddin membenarkan, ada lembaga-lembaga yang tumpang tindih. Dia mencontohkan, Badan Regulasi Telekomunikasi. Fungsi serupa telah dijalani oleh Kementerian Komunikasi dan Informasi dan ada Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang dianggap masyarakat lebih independen.
Ada lagi LNS yang masuk kategori hidup segan, mati tak mau. Artinya, tugas lembaga tersebut secara fungsional sudah diambil alih instansi lain. Contoh, Dewan Buku Nasional dan Dewan Gula Indonesia (DGI). Dulu, lembaga ini berfungsi tapi kini sudah tidak lagi. Saat ini, beberapa pegawai di dewan-dewan itu sudah dialihkan ke posisi lain. “Secara de facto, dewan-dewan itu sudah tidak berjalan,” ujar Iman.
Nah, beberapa tahun terakhir, Kementerian PAN-RB terus melakukan pendataan LNS-LNS yang sudah tidak berfungsi dengan semestinya. Paling tidak ada 27 LNS yang sedang dalam kajian untuk dilikuidasi. Iman bilang, kebanyakan LNS tersebut adalah instansi yang melekat pada kementerian/lembaga, bukan LNS mandiri, hasil bentukan undang-undang (UU).
Anggota DGI Arum Sabil menyayangkan rencana Kementerian PAN-RB membubarkan lembaganya karena alasan yang tidak rasional dan berbasis fakta. Padahal, DGI memiliki fungsi besar dalam mengontrol laju peredaran gula, baik impor maupun produksi domestik.
DGI memiliki 120 anggota dan diketuai oleh menteri pertanian. Selama ini, mereka mengumpulkan stake holder untuk memberi masukan kepada pemerintah seputar bisnis gula. “Saya menduga ada kepentingan mafia gula yang bermain dalam impor tiga juta ton gula setiap tahun dalam wacana pembubaran DGI,” kata Arum.
Arum mendukung rencana pemerintah menutup LNS, untuk LNS yang tugasnya tidak jelas dan membebani keuangan negara. Adapun DGI, klaim Arum, selalu menjalankan tugas dengan baik, dan tidak membebani keuangan negara. Semua anggota DGI tidak menerima gaji bulanan dari pemerintah.
Direktur Investigasi dan Advokasi Fitra Uchok Sky Khadafi juga melihat LNS sebagai beban finansial negara. Sebab, tugas dan fungsi mereka mirip dengan kementerian. Dia melihat pembentukan LNS adalah upaya menjinakkan masyarakat sipil agar tidak melakukan oposisi ke pemerintah. “Kadang, karena ada kementerian yang dinilai bandel, lantas presiden membuat LNS,” katanya.
Uchok menilai, tak mudah bagi Kementerian PAN-RB untuk melikuidasi LNS. Dasar pembentukan LNS bisa UU atau keputusan presiden dan peraturan presiden. Untuk membubarkan, Kementerian PAN-RB harus bisa melobi DPR dan kementerian terkait.
Imanuddin bilang, secara teknis tidak susah membubarkan LNS. Dasar penutupan LNS ada tiga: kinerja tak efektif, bisa dilebur ke unit lain, dan bisa dipegang kementerian terkait. Untuk penutupan, Kementerian PAN-RB tinggal kirim surat ke presiden untuk bikin Perpres pembubaran. Tapi, kok belum ada yang ditutup? “Mungkin ada pertimbangan lain menurut pimpinan,” katanya.
***Sumber : KONTAN MINGGUAN 36 - XVII, 2013 Laporan Utama
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News