Reporter: Lailatul Anisah | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah resmi menunda pelaksanaan kebijakan Penangkapan Ikan Terukur (PIT) berbasis kuota menjadi tahun 2025.
Keputusan ini tertuang dalam Surat Edaran (SE) Nomor B.1945/MEN-KP/XI/2023 Tentang Relaksasi Kebijakan Pada Masa Transisi Pelaksanaan Penangkapan Ikan Terukur.
Pengamat Ekonomi Kelautan dan Perikanan Suhana menilai, kebijakan PIT seharusnya dapat ditinjau kembali atau dicabut alih-alih hanya dilakukan penundaan. Terlebih, dalam regulasi ini masih banyak istilah awam yang tidak banyak diketahui oleh pelaku perikanan.
Baca Juga: Kebijakan Penangkapan Ikan Terukur Ditunda, Begini Kata Pengusaha
"Baiknya regulasi terkait PIT tersebut dibatalkan dan direvisi sesuai dengan karakteristik perikanan di Indonesia," kata Suhana pada Kontan.co.id, Rabu (13/12).
Selain itu, Dekan Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Teknologi Muhammadiyah Jakarta ini juga menilai kebijakan PIT ini justru memperlebar ruang penyelewengan di industri perikanan.
Apalagi, pendekatan yang dipakai dalam kebijakan PIT ini adalah pendekatan Individual Transper Quota (ITQ) yang tidak pernah diterapkan di Indonesia.
"Sehingga sangat rawan penyelewengan ketika diimplementasikan itu ada, misalnya akan memicu munculnya calo quota," ungkap Suhana.
Baca Juga: Sosialisasi Kebijakan Tidak Clear, Nelayan Setuju Penangkapan Ikan Terukur Ditunda
Terlebih, aturan turunan teknis PIT melalui Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KP) No 28 Tahun 2023 menyatakan secara tidak langsung bahwa kuota industri dan nelayan ini boleh dipindahkan.
Hal ini menunjukan bahwa sistem kuota penangkapan yang datur dalam Permen KP tersebut lebih berpihak pada pengusaha karena tidak menutup kemungkinan kuota penangkapan ikan akan terkonsentrasi pada satu atau beberapa pemilik modal/pengusaha perikanan.
Maka, tujuan penusahaan kekayaan alam sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat seperti yang diamanahkan dalam pasal 33 UUD 1995 tidak akan tercapai.
"Pengalihan kuota tersebut malah akan berpotensi menimbulkan ketidakadilan sehingga memicu tingginya angka kemiskinan pada masyarakat nelayan tradisional," jelas Suhana.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News