kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.503.000   7.000   0,47%
  • USD/IDR 15.464   36,00   0,23%
  • IDX 7.742   6,84   0,09%
  • KOMPAS100 1.203   0,89   0,07%
  • LQ45 960   1,22   0,13%
  • ISSI 233   -0,20   -0,09%
  • IDX30 493   0,93   0,19%
  • IDXHIDIV20 592   1,55   0,26%
  • IDX80 137   0,16   0,11%
  • IDXV30 143   0,06   0,05%
  • IDXQ30 164   0,24   0,15%

Nilai Insentif Perpajakan Perlu Diturunkan Secara Bertahap


Minggu, 24 September 2023 / 18:24 WIB
Nilai Insentif Perpajakan Perlu Diturunkan Secara Bertahap
ILUSTRASI. Insentif perpajakan memang menjadi instrumen dalam menjaga pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat


Reporter: Dendi Siswanto | Editor: Handoyo .

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Insentif perpajakan memang menjadi instrumen dalam menjaga pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Kendati begitu, nilai insentif perpajakan yang terus meningkat perlu diturunkan secara bertahap.

Pengamat Pajak Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar menilai, sudah sebaiknya insentif perpajakan bisa dievaluasi dan dikurangi secara perlahan terutama untuk insentif perpajakan yang tidak tepat.

Misalnya saja ambang batas pendapatan tidak kena pajak (PTKP) yang terlalu tinggi dan justru mendorong pengusaha berbondong-bondong berlindung di bawah ambang batas tersebut.

"Contohnya ambang batas PKP PPN yang Rp 4,8 miliar yang terlalu tinggi. Sudah tak tepat sasaran (UMKM) dan menyebabkan penghindaran untuk menjadi pemungut pajak," ujar Fajry kepada Kontan.co.id, Minggu (24/9).

Baca Juga: Insentif Perpajakan Terus Meningkat, Ini Penjelasan Sri Mulyani

Fajry juga bilang, sudah banyak studi yang mengevaluasi insentif atau fasilitas pajak di Indonesia yang tidak sesuai dengan best practice atau tidak lumrah digunakan di berbagai negara. Salah satunya adalah studi dari International Monetary Fund (IMF).

"Tentu pemerintah perlu memangkas besaran belanja perpajakan dengan mengubah atau merevisi fasilitas atau insentif pajak atau bahkan menghapusnya," kata Fajry.

Hanya saja, menurutnya, pemerintah akan berhati-hati dalam menerapkan kebijakan perpajakan di tahun politik. Namun, dirinya mendorong evaluasi dan revisi insentif perpajakan bisa dilakukan oleh pemerintahan selanjutnya.

"Untuk sekarang sulit, karena kita sudah masuk ke masa politik. Risiko politiknya besar untuk melakukan evaluasi insentif atau fasilitas pajak. Kemarin saja, pemeriksaan pajak dibawa-bawa ke ranah politik," katanya.

"Kemungkinan evaluasi dan revisi ini akan dilakukan di pemerintahan baru. Tentunya, bisa dilakukan jika pemimpin yang baru punya visi perpajakan yang sama," imbuh Fajry.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute (TRI) Prianto Budi Saptono menyampaikan, insentif pajak memang diterapkan secara selektif untuk kegiatan usaha tertentu.

Tujuannya juga bervariasi karena tergantung pada bentuknya yang dapat berupa pengecualian, tarif pajak khusus, kredit pajak, dan/atau penangguhan kewajiban pajak.

Prianto bilang, pemberian insentif pajak bertujuan untuk mengurangi beban pajak perusahaan atau masyarakat yang mendapatkan insentif tersebut. Selain itu, tujuannya bisa juga berupa dorongan kepada perusahaan agar mau berinvestasi di proyek atau sektor tertentu.

"Insentif pajak tidak perlu memangkas besaran insentif ketika masih diperlukan. Akan tetapi, ada kalanya besaran insentif juga perlu dikurangi. Jadi, sifatnya kondisional," kata Prianto.

Sebagai informasi, dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2024, pemerintah mematok nilai belanja perpajakan sebesar Rp 374,5 triliun.  Angka ini tumbuh 6,1% dari proyeksi tahun ini yang sebesar Rp 352,8 triliun.

Apabila dilihat secara rinci, tren belanja perpajakan dalam lima tahun terakhir terus mengalami peningkatan. Sebut saja pada tahun 2022, nilai belanja perpajakan Indonesia mencapai Rp 323,5 triliun atau sebesar 1,65% dari Produk Domestik Bruto (PDB).

Baca Juga: Sebanyak 5.652 Wajib Pajak Orang Pribadi Telah Nikmati Restitusi Dipercepat

Nilai tersebut secara nominal meningkat sebesar 4,4% dibandingkan nilai belanja perpajakan tahun 2021 yang sebesar Rp 310 triliun atau 1,83% PDB yang disebabkan oleh mulai pulihnya perekonomian nasional. Kemudian, pada tahun 2020 belanja perpajakan tercatat sebesar Rp 246,5 triliun.

Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Febrio Nathan Kacaribu mengatakan, setiap tahunnya pemerintah akan merekam realisasi belanja perpajakan secara detail untuk bisa mengevaluasi kebijakan perpajakan secara terukur.

"Sehingga kita bisa evaluasi kebijakan perpajakan kita itu apakah benar-benar sesuai tujuannya, yakni transformasi ekonomi dan juga kesejahteraan masyarakat," kata Febrio dalam Konferensi Pers APBN Kita, Rabu (20/9).

Dirinya mencontohkan, untuk sektor-sektor yang produktif dan bisa mendorong transformasi ekonomi akan tetap didorong untuk mendapatkan insentif perpajakan. Misalnya saja UMKM dan sektor-sektor pionir lainnya.

"Untuk transformasi ekonomi, jelas kita mendukung sektor-sektor prioritas, sektor-sektor pionir. Contohnya adalah melalui tax holiday dan tax allowance. Ini yang kita dorong untuk sektor-sektor produktif dan mendorong transformasi ekonomi," imbuhnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Penerapan Etika Dalam Penagihan Kredit Macet Eksekusi Jaminan Fidusia Pasca Putusan MK

[X]
×