Reporter: Grace Olivia | Editor: Tendi Mahadi
KONTAN.CO.ID - DENPASAR. Tekanan perlambatan ekonomi global turut menyeret pertumbuhan ekonomi Indonesia. Hingga akhir tahun, pertumbuhan ekonomi diperkirakan sulit menyentuh outlook pemerintah yakni 5,2%.
Kepala Ekonom Bank Mandiri Andry Asmoro memproyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada akhir 2019 sebesar 5,06%. Perlambatan ekonomi domestik sejalan dengan ekonomi dunia yang lesu, volume perdagangan yang menurun, dan harga komoditas yang rendah.
Baca Juga: Kebijakan moneter global melonggar, modal asing diramal mengalir deras di 2020
Perang dagang yang masih bergulir sampai saat ini menjadi sentimen negatif utama yang memengaruhi kinerja perekonomian Indonesia. Andry menjelaskan ada dua kanal (channel) pengaruh perang dagang terhadap ekonomi domestik.
“Pertama, dampak langsung (direct channel) di mana perang dagang menurunkan permintaan barang dari AS dan China sehingga total ekspor Indonesia melemah,” tutur dia, Jumat (27/9).
Tahun lalu, Andry mencatat, ekspor ke AS dan China masing-masing sebesar 10,2% dan 15,1% atau seperempat dari total ekspor Indonesia.
Selain itu, setiap penurunan 1% PDB China akan ikut menyeret turun pertumbuhan Indonesia sebesar 0,09%. Begitu juga dengan penurunan 1% PDB AS akan menurunkan pertumbuhan ekonomi Indonesia 0,07%.
Kedua, dampak tidak langsung yang memengaruhi perekonomian Indonesia ialah harga komoditas ekspor utama seperti CPO yang tertekan. Belum lagi, dampak dari kelebihan suplai produk China yang relatif murah pada pasar global, berpotensi meningkatkan risiko kenaikan impor oleh Indonesia.
“Prediksi kami, komoditas utama seperti sawit dan batubara masih akan flat ekspektasi harganya sampai 2020,” kata Andry.
Baca Juga: BI: Terdorong inflow modal asing, kurs rupiah kuat sepanjang September
Di sisi lain, mesin pendorong ekonomi yaitu pertumbuhan investasi juga belum bisa diandalkan. Kuartal II-2019, pertumbuhan pengeluaran investasi justru menurun jadi 5,01%, dari 5,03% di kuartal sebelumnya.
Oleh karena itu, Andry menjelaskan, pertumbuhan ekonomi Indonesia saat ini mengandalkan mesin domestik yaitu konsumsi rumah tangga dan pemerintah. Sepanjang tahun ini, tren pertumbuhan konsumsi meningkat dan mencapai 5,17% pada kuartal kedua lalu.
“Jadi tantangannya bagaimana menjaga konsumsi rumah tangga ini tetap di atas level pertumbuhan di 2017 dan 2018. Dengan menjaga konsumsi, biasanya Indonesia akan tetap resilien di tengah cycle ekonomi global yang ke bawah karena porsi konsumsi mencapai 56% PDB,” terang dia.
Di tengah pelemahan ekonomi global, Andry menilai pemerintah mesti fokus menggarap sektor-sektor yang terjangkau dalam jangka pendek (low-hanging fruit sectors) seperti pariwisata, makanan dan minuman, FMCG, dan infrastruktur. Pemerintah juga mesti menata dan mengembangkan potensi perekonomian lokal di daerah-daerah dengan berkoordinasi lebih erat dengan pemerintah daerah.
“Selain itu, memperluas kesepakatan-kesepakatan dagang regional untuk mendorong kinerja ekspor ke depan,” tuturnya.
Adapun, Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi Bank Indonesia (BI) Onny Widjanarko mengatakan, BI memang melihat laju pertumbuhan ekonomi domestik cenderung melemah. Potensi pertumbuhan ada, tapi tidak besar untuk saat ini.
Baca Juga: Masih dibayangi aksi unjuk rasa, berikut prediksi pergerakan rupiah pekan depan
Namun, BI memandang rumah tangga dan pemerintah masih mampu melakukan pengeluaran yang kuat. “Naiknya konsumsi pemerintah seiring mengikuti besaran PDB, sedangkan naiknya konsumsi juga tertopang bantuan sosial yang terus naik juga,” tutur Onny.
Oleh karena itu, BI memprediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia akan berada di bawah titik tengah kisaran 5%-5,4%. “Masih akan ada di titik tengah kisaran tersebut, meski sesuai yang disampaikan Gubernur BI sebelumnya, (pertumbuhan) akan lebih bias ke bawah,” ujar Onny.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News