Reporter: Nurtiandriyani Simamora | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Langkah Bank Indonesia (BI) mengurangi outstanding Surat Berharga Rupiah Bank Indonesia (SRBI) diharapkan dapat meningkatkan likuiditas perbankan dan mendorong pertumbuhan kredit.
Namun, efektivitas kebijakan ini dinilai belum optimal.
Kepala Ekonom Bank Permata, Josua Pardede, menjelaskan bahwa kebijakan pengurangan SRBI merupakan bagian dari strategi pelonggaran moneter yang ditujukan agar perbankan lebih agresif menyalurkan pembiayaan ke sektor riil.
Baca Juga: Tak Lagi di SRBI, Perbankan Kini Kembali Menempatkan Dananya di Obligasi Pemerintah
“Langkah ini diambil karena sebelumnya banyak bank memilih menempatkan dananya di SRBI yang memiliki risiko sangat rendah, dibanding menyalurkannya ke sektor riil yang risikonya lebih tinggi,” ujar Josua kepada Kontan, Kamis (24/7).
Josua mencatat, berdasarkan data operasi moneter BI, outstanding SRBI telah turun signifikan hingga Juli 2025. Tercatat penurunan sebesar Rp 28,9 triliun secara bulanan (month to date/MtD dan quarter to date/QtD), serta turun Rp 169,4 triliun secara tahunan (year to date/YtD).
Meski likuiditas meningkat, efeknya terhadap penyaluran kredit belum terlihat kuat. Menurut survei perbankan BI, pertumbuhan kredit baru pada triwulan II-2025 meningkat dibanding triwulan sebelumnya. Namun secara tahunan, pertumbuhan kredit justru melambat dari 9,6% pada Januari menjadi 7,6% pada Juni 2025.
“Fakta ini menunjukkan bahwa pelepasan likuiditas dari SRBI belum sepenuhnya tersalurkan dalam bentuk kredit,” ungkap Josua.
Baca Juga: Bank Indonesia Turunkan Outstanding SRBI, Agar Likuiditas Diserap Masyarakat
Kondisi ini, kata dia, mencerminkan sikap perbankan yang masih hati-hati. Hal itu tercermin dari Indeks Lending Standard (ILS) yang masih berada di level positif 0,08, menandakan bank tetap selektif dalam pemberian kredit.
Sementara di sisi permintaan, kredit belum cukup menarik minat perbankan untuk ekspansi yang lebih agresif.