Reporter: Bidara Pink | Editor: Herlina Kartika Dewi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Asosiasi Industri Aromatik Olefin dan Plastik (Inaplas) melihat, kinerja manufaktur baru akan kembali ke zona ekspansif atau indeks di atas 50 pada awal tahun 2022.
Imbas Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat dan Level 3 serta 4 pada Juli 2021, mengakibatkan Purchasing Managers’ Index (PMI) Manufaktur Indonesia dari IHS Markit ambles ke 40,1 atau zona kontraksi.
Pada Agustus 2021, memang terlihat ada peningkatan kinerja manufaktur dengan tanda meningkatnya PMI Manufaktur ke level 43,7. Meski begitu, kinerja manufaktur terpantau masih berada dalam zona kontraksi.
“Optimistis ke zona ekspansif pada tahun 2022. Memang kami berharap di akhir tahun ini, tapi tetap realistis. Namun, di akhir tahun ini bisa mencapai indeks sekitar 45 kami tetap optimistis,” ujar Sekretaris Jenderal Inaplas Fajar Budiono kepada Kontan.co.id, Rabu (1/9).
Baca Juga: Ekonom CORE optimistis kinerja manufaktur balik ke zona ekspansif di kuartal IV-2021
Fajar memberi catatan terkait apa saja yang bisa dibenahi agar kinerja manufaktur kembali mumpuni.
Pertama, vaksinasi yang dipercepat, sehingga tercipta herd immunity yang juga mempercepat produktivitas manufaktur. Namun, dalam hal ini Fajar sudah mengapresiasi upaya pemerintah dalam mempercepat vaksinasi.
Kedua, pemerintah bekerjasama dengan asosiasi terkait harus bisa menyelesaikan masalah kelangkaan kontainer. Menurutnya, kelangkaan kontainer dan kelangkaan kapal ini menghambat kinerja ekspor industri manufaktur.
“Sebagai contoh, sebenarnya kinerja Agustus 2021 ini sudah bagus, tetapi terkendala dari sisi ekspor karena kelangkaan kapal dan kontainer. Gudang penuh, sehingga ini jadi salah satu penghalang ekspansi bisnis,” terang Fajar.
Ia berharap Kementerian Perdagangan maupun Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia mampu mencarikan jalan keluar. Menurutnya, kalau penyelesaian secara B2B sudah tidak bisa, maka G2G bisa dilakukan.
Ketiga, ia meminta pemerintah tidak menerapkan pajak karbon (carbon tax) dalam waktu dekat yang dinilai tidak pro industri. Menurutnya, dengan ada carbon tax, maka industri akan terbebani biaya yang lebih berat dan bisa menghambat pemulihan industri.
Bila memang diterapkan, maka mau tak mau nanti harga produk yang dihasilkan oleh industri manufaktur akan membengkak yang akan berpengaruh pada masyarakat.
Bahkan, bukan tak mungkin masyarakat yang merasa produk dalam negeri mahal, beralih ke barang impor yang bisa saja lebih murah. Dalam hal ini, daya saing produk dalam negeri bisa menurun.
“Mneurut kami belum tepat sekarang. Kami berbeda jalan. Kalau memang untuk lebih hijau, ramah lingkungan setuju, tetapi jangan sekarang. Dan kami lebih setuju untuk penerapan carbon trading,” tandasnya.
Selanjutnya: BPS catat inflasi Agustus 2021 sebesar 0,03% dalam sebulan
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News