Reporter: Siti Masitoh | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian menyebut, situasi geopolitik dan kebijakan tarif resiprokal yang diterapkan Amerika Serikat (AS) turut mempengaruhi realisasi devisa hasil ekspor sumber daya alam (DHE SDA) yang disimpan di dalam negeri.
Dampak dari ketegangan geopolitik dan kebijakan perdagangan AS menyebabkan proses pembayaran atas barang-barang ekspor dari Indonesia menjadi terhambat. Alhasil, jumlah DHE SDA yang masuk dan disimpan di dalam negeri pun ikut terganggu.
Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede menilai, keterlambatan pembayaran dari pembeli luar negeri, khususnya dari AS, merupakan imbas dari kebijakan tarif Presiden AS Donald Trump. Kebijakan tersebut meningkatkan ketidakpastian dalam perdagangan internasional.
“Pembeli dari AS menjadi lebih berhati-hati dalam bertransaksi karena mereka menghadapi tambahan biaya impor yang cukup tinggi, yakni sebesar 19% untuk produk dari Indonesia,” tutur Josua kepada Kontan, Senin (4/8/2025).
Baca Juga: Pengimpor di Luar Negeri Telat Bayar, Bisa Mengancam Realisasi DHE SDA
Menurut Josua, kehati-hatian ini berdampak pada manajemen likuiditas para pembeli. Mereka cenderung menunda pembayaran guna menyesuaikan arus kas dan strategi bisnisnya terhadap beban tarif yang meningkat.
Lebih lanjut, Josua menjelaskan, keterlambatan pembayaran ekspor ini berdampak cukup besar terhadap arus masuk DHE SDA. AS merupakan pasar penting bagi sejumlah produk ekspor utama Indonesia seperti tekstil, alas kaki, furnitur, dan produk perikanan, yang secara keseluruhan nilainya mencapai miliaran dolar AS.
Penundaan pembayaran tersebut, tambahnya, berpotensi mengganggu likuiditas valuta asing (valas) domestik, menekan nilai tukar rupiah, serta berdampak pada kemampuan Bank Indonesia (BI) dalam menjaga stabilitas cadangan devisa.
“Meskipun pemerintah telah menerbitkan PP Nomor 8 Tahun 2025 yang mewajibkan retensi DHE sebesar 100% di dalam negeri selama minimal 12 bulan, efektivitas kebijakan ini bisa terganggu apabila keterlambatan pembayaran berlangsung semakin luas atau berkepanjangan,” jelas Josua.
Kendati demikian, Josua menilai, dampak terhadap cadangan devisa tidak akan langsung signifikan dalam jangka pendek, selama keterlambatan pembayaran tidak bersifat masif dan berkepanjangan.
Saat ini, cadangan devisa masih memiliki penyangga dari kebijakan retensi DHE. Bank Indonesia juga memiliki instrumen lain seperti intervensi pasar valas untuk memitigasi risiko tekanan terhadap nilai tukar.
Ia menambahkan, durasi kondisi ini sangat bergantung pada dinamika kebijakan perdagangan AS ke depan. Mengingat kecenderungan proteksionisme yang masih kuat, ketidakpastian diperkirakan akan berlangsung setidaknya hingga akhir 2025, atau bahkan lebih lama jika negosiasi perdagangan bilateral AS-Indonesia tidak menghasilkan konsesi yang menguntungkan.
“Dalam konteks ini, pemerintah Indonesia perlu terus mendorong negosiasi preferensial agar tarif resiprokal terhadap produk ekspor unggulan seperti tekstil, alas kaki, furnitur, dan produk perikanan dapat dikurangi secara signifikan,” ujarnya.
Baca Juga: Pasokan Valas Meningkat, BI Puji Dampak Kebijakan Konversi DHE
Secara keseluruhan, Josua menilai, meskipun tekanan terhadap cadangan devisa akibat keterlambatan pembayaran imbas tarif Trump cukup nyata, situasinya belum memasuki tahap kritis. Selama kebijakan retensi DHE dijalankan secara konsisten dan didukung oleh langkah-langkah mitigasi aktif dari Bank Indonesia dan pemerintah, dampaknya masih dapat dikelola.
Namun demikian, ia menekankan pentingnya antisipasi kebijakan jangka panjang dan diversifikasi pasar ekspor guna menjaga stabilitas cadangan devisa Indonesia dalam menghadapi ketidakpastian perdagangan global.
Selanjutnya: Emas dan Bitcoin Cetak Return Tinggi hingga Juli 2025
Menarik Dibaca: Yuk Lihat Jadwal KRL Solo Jogja pada Selasa 5 Agustus 2025
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News