kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.520.000   12.000   0,80%
  • USD/IDR 15.921   9,00   0,06%
  • IDX 7.199   58,54   0,82%
  • KOMPAS100 1.106   11,37   1,04%
  • LQ45 878   11,64   1,34%
  • ISSI 221   1,06   0,48%
  • IDX30 449   6,23   1,41%
  • IDXHIDIV20 540   5,82   1,09%
  • IDX80 127   1,42   1,13%
  • IDXV30 134   0,44   0,33%
  • IDXQ30 149   1,71   1,16%

Pengamat: Insentif PPh 21 DTP untuk Karyawan Bukan Solusi untuk Dongkrak Daya Beli


Selasa, 06 Agustus 2024 / 20:46 WIB
Pengamat: Insentif PPh 21 DTP untuk Karyawan Bukan Solusi untuk Dongkrak Daya Beli
ILUSTRASI. Pemberian insentif PPh 21 DTP kurang efektif, mengingat banyak perusahaan yang enggan memanfaatkan.


Reporter: Dendi Siswanto | Editor: Herlina Kartika Dewi

KONTAN.CO.ID - JAKARTA Pengamat perpajakan tidak sependapat apabila pemerintah kembali memberikan insentif pajak penghasilan pasal 21 ditanggung pemerintah (PPh DTP).

Pengamat Pajak Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar mengatakan bahwa pemberian insentif PPh 21 DTP kurang efektif, mengingat banyak perusahaan yang enggan memanfaatkan.

"Mengingat yang mengajukan adalah perusahaan namun yang mendapatkan benefit adalah karyawan. Ada perbedaan kepentingan," ujar Fajry kepada Kontan.co.id, Selasa (6/8).

Baca Juga: Pemerintah Didesak Beri Insentif PPh 21 Karyawan Ditanggung Pemerintah

Merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS), Memang pertumbuhan pengeluaran konsumsi rumah tangga (RT) pada kuartal II-2024 sebesar 4,93% atau lebih rendah dibandingkan kuartal II- 2023 sebesar 5,22%.

"Sedikit tumbuh lebih rendah. Untuk itu, saya belum melihat urgensi pemberian PPh 21, bandingkan dengan pelemahan konsumsi rumah tangga pada saat pandemi Covid-19," katanya.

Di sisi lain, Fajry mengatakan bahwa penerimaan pajak Indonesia sedang cekak. Dan selama ini, kontribusi PPh 21 cukup membantu penerimaan pajak Indonesia.

Baca Juga: Penerimaan Pajak Ekonomi Digital Belum Mencakup Semua Sektor

Oleh karena itu, apabila pemerintah memberikan insentif pajak tersebut, maka akan cukup berisiko bagi kondisi fiskal Indonesia.

Ia khawatir, jika insentif tersebut tetap diberikan, maka defisit akan semakin memburuk dan ujungnya berdampak ke nilai tukar.

"Tentu, kalau rupiah semakin tertekan terhadap dolar AS, yang jadi korban adalah konsumen itu sendiri yakni melalui harga barang impor yang lebih mahal," imbuhnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×