Reporter: Adi Wikanto | Editor: Djumyati P.
JAKARTA. Ternyata tidak hanya kalangan DPR yang berang dengan asumsi makro dalam penyusunan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2011. Banyak ekonom juga yang memandang asumsi tersebut tidak mendukung pertumbuhan sektor riil. Bahkan, mereka menilai asumsi makro bakal menjadi bumerang bagi sektor riil.
Catatan saja, pemerintah sudah mematok asumsi makro dalam RAPBN 2011. Antara lain, target pertumbuhan ekonomi 6,3%, laju inflasi 5,3%, suku bunga sertifikat Bank Indonesia (SBI) rata-rata 6,5%, nilai tukar Rp 9.300 per dollar Amerika Serikat (AS), harga minyak US$ 80 per barel, dan lifting minyak sebesar 970.000 barel per hari.
Menurut Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Iman Sugema, asumsi tersebut tidak akan mendorong perekonomian. Ini terutama terkait suku bunga yang masih tinggi. Sebab, Untuk mendorong sektor riil, dibutuhkan bunga yang rendah. "Dengan kebijakan sekarang dan tahun yang akan, suku bunga acuan akan tetap tinggi, jadi jangan berharap sektor riil bisa meningkat," kata Iman, saat rapat dengan Komisi XI DPR, Senin (30/8).
Sebenarnya, kata Iman, Bank Indonesia (BI) bisa saja menurunkan suku bunga acuan. Hanya saja itu tidak dilakukan, karena BI ingin menjaga nilai tukar rupiah berada di kisaran 9.000 per dollar AS. "Alasannya, BI takut eksportir kita kehilangan daya saing, bila rupiah terus menguat," kata Iman.
Menurut Iman, BI menjaga suku bunga tersebut sebagai alat untuk sterilisasi rupiah. Sebab, untuk menjaga nilai tukar, BI harus membeli dollar di pasar. Ini menyebabkan, banyak rupiah beredar di pasar. Makanya, agar tidak terjadi masalah, BI harus melakukan treatment ke pasar, dengan mengeluarkan SBI. "Makanya, bunga SBI tetap dijaga tinggi agar menarik pembeli," kata Iman.
Sementara Ekonom Econit, Hendri Saparini menambahkan, kebijakan pemerintah dan BI memang sulit dimengerti. Lihat saja, selama 2009 kemarin, pendorong pertumbuhan ekonomi adalah konsumsi swasta yang mencapai 65%. Sementara, untuk sektor ekspor hanya menyumbang 1,1%. "Tapi pemerintah lebih mengorbankan konsumsi swasta dan lebih mendorong sektor ekspor," kata Hendri.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News