kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.528.000   8.000   0,53%
  • USD/IDR 16.240   -40,00   -0,25%
  • IDX 7.037   -29,18   -0,41%
  • KOMPAS100 1.050   -5,14   -0,49%
  • LQ45 825   -5,35   -0,64%
  • ISSI 214   -0,85   -0,40%
  • IDX30 423   -1,15   -0,27%
  • IDXHIDIV20 514   0,87   0,17%
  • IDX80 120   -0,69   -0,57%
  • IDXV30 125   1,36   1,09%
  • IDXQ30 142   0,26   0,18%

Pengamat : Asumsi makro 2011 musuh sektor riil


Senin, 30 Agustus 2010 / 21:09 WIB
Pengamat : Asumsi makro 2011 musuh sektor riil


Reporter: Adi Wikanto | Editor: Djumyati P.

JAKARTA. Ternyata tidak hanya kalangan DPR yang berang dengan asumsi makro dalam penyusunan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2011. Banyak ekonom juga yang memandang asumsi tersebut tidak mendukung pertumbuhan sektor riil. Bahkan, mereka menilai asumsi makro bakal menjadi bumerang bagi sektor riil.

Catatan saja, pemerintah sudah mematok asumsi makro dalam RAPBN 2011. Antara lain, target pertumbuhan ekonomi 6,3%, laju inflasi 5,3%, suku bunga sertifikat Bank Indonesia (SBI) rata-rata 6,5%, nilai tukar Rp 9.300 per dollar Amerika Serikat (AS), harga minyak US$ 80 per barel, dan lifting minyak sebesar 970.000 barel per hari.

Menurut Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Iman Sugema, asumsi tersebut tidak akan mendorong perekonomian. Ini terutama terkait suku bunga yang masih tinggi. Sebab, Untuk mendorong sektor riil, dibutuhkan bunga yang rendah. "Dengan kebijakan sekarang dan tahun yang akan, suku bunga acuan akan tetap tinggi, jadi jangan berharap sektor riil bisa meningkat," kata Iman, saat rapat dengan Komisi XI DPR, Senin (30/8).

Sebenarnya, kata Iman, Bank Indonesia (BI) bisa saja menurunkan suku bunga acuan. Hanya saja itu tidak dilakukan, karena BI ingin menjaga nilai tukar rupiah berada di kisaran 9.000 per dollar AS. "Alasannya, BI takut eksportir kita kehilangan daya saing, bila rupiah terus menguat," kata Iman.

Menurut Iman, BI menjaga suku bunga tersebut sebagai alat untuk sterilisasi rupiah. Sebab, untuk menjaga nilai tukar, BI harus membeli dollar di pasar. Ini menyebabkan, banyak rupiah beredar di pasar. Makanya, agar tidak terjadi masalah, BI harus melakukan treatment ke pasar, dengan mengeluarkan SBI. "Makanya, bunga SBI tetap dijaga tinggi agar menarik pembeli," kata Iman.

Sementara Ekonom Econit, Hendri Saparini menambahkan, kebijakan pemerintah dan BI memang sulit dimengerti. Lihat saja, selama 2009 kemarin, pendorong pertumbuhan ekonomi adalah konsumsi swasta yang mencapai 65%. Sementara, untuk sektor ekspor hanya menyumbang 1,1%. "Tapi pemerintah lebih mengorbankan konsumsi swasta dan lebih mendorong sektor ekspor," kata Hendri.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective Bedah Tuntas SP2DK dan Pemeriksaan Pajak (Bedah Kasus, Solusi dan Diskusi)

[X]
×