Reporter: Adinda Ade Mustami | Editor: Hendra Gunawan
JAKARTA. Pengacara Bupati Karawang, Ade Swara dan istrinya, Nurlatifah; Haryo D Wibowo bertanya-tanya alasan dijeratnya kliennya dengan pasal TPPU. Menurut Haryo, harta-harta yang didapat Ade dan Nurlatifah tidak hanya berasal dari jabatannya sebagai Bupati Karawang, melainkan juga dari hasil usaha sampingan berdagang emas yang dijalankan Nurlatifah dan sarang burung walet.
Haryo menceritakan, sejak zaman Belanda, nenek dari Nurlatifah memiliki usaha berdagang emas. Saat ini, aset-aset berupa emas tersebut diturunkan ke Nurlatifah.
"Dari dulu uangnya banyak. Pedagang emas terbesar di Karawang. Waletnya juga besar. Sejak 1980-an asetnya juga banyak," kata Haryo di Gedung KPK, Jakarta, Selasa siang.
Kendati demikian Haryo mengaku, Ade dan Nurlatifah juga telah ditanyai harta kekayaan oleh penyidik KPK sejak awal kliennya menjalani pemeriksaan. Haryo juga mengakui, ada beberapa aset milik pasangan suami istri tersebut yang tidak dilaporkan dalam Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN).
"Itu (LHKPN) persyaratan mau Pilkada jadi memang waktu itu tidak dibuat detail. Juga bukan dia sendiri yang buat, tetapi stafnya. Tapi itu sudah disampaikan ke KPK," tuturnya.
Dalam LHKPN milik Ade Swara yang dilaporkan ke KPK tahun 2010 silam, Ade tercatat hanya memiliki harta dengan total sebesar Rp 5,9 miliar. Adapun harta kekayaan tersebut terdiri dari harta tak bergerak berupa empat bidang tanah dan bangunan di Karawang serta harta bergerak berupa tiga unit mobil. Sementara itu, dalam LHKPN tersebut Ade tidak mencantumkan memiliki aset berupa peternakan maupun logam mulia.
KPK akhirnya resmi menetapkan Ade dan Nurlatifah sebagai tersangka kasus dugaan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU). Baik Ade maupun Nurlatifah, disangkakan melanggar Pasal 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pemberantasan dan Pencegahan TPPU. Adapun penetapan Ade dan Nurlatifah berdasarkan Surat Perintah Penyidikan (Sprindik) tertanggal 1 Oktober 2014 lalu.
Sebelumnya, KPK menetapkan Ade dan Nurlatifah sebagai tersangka kasus dugaan pemerasan pada 18 Juli 2014 lalu. Keduanya diduga memeras PT Tatar Kertabumi dengan meminta uang sebesar Rp 5 miliar. Uang tersebut diminta guna meluluskan pengajuan permohonan Surat Pernyataan Pengelolaan Lingkungan (SPPL) untuk pembangunan mall di atas lahan seluas 5,5 haktere (ha) milik perusahaan tersebut, di Karawang, Jawa Barat.
PT Tatar Kertabumi yang merupakan cucu perusahaan PT Agung Podomoro Land Tbk tersebut akhirnya menyanggupi permintaan keduanya. Uang tersebut diberikan kepada adik Nurlatifah bernama Ali dalam bentuk US$ 424.349. Ali kemudian menyerahkan uang tersebut kepada kakaknya di rumah dinas Bupati Karawang.
Atas perbuatan tersebut, keduanya dijerat dengan Pasal 12 e atau Pasal 23 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Jo pasal 421 KUHP Jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News