Reporter: Dendi Siswanto | Editor: Herlina Kartika Dewi
KONTAN.CO.ID-JAKARTA. Penerimaan negara mengalami penurunan tajam hingga pertengahan 2025. Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat, realisasi penerimaan pajak sepanjang Januari hinga Mei 2025 hanya mencapai Rp 683,3 triliun, atau turun 10,14% dibanding periode yang sama tahun lalu. Penurunan ini dipengaruhi oleh tingginya restitusi pajak.
Ikatan Wajib Pajak Indonesia (IWPI) menyoroti bahwa salah satu sektor yang paling banyak mengajukan restitusi adalah sektor pertambangan.
Sejak perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 melalui UU Nomor 2 Tahun 2025, barang hasil tambang kini menjadi Barang Kena Pajak (BKP).
Baca Juga: AMRO Sarankan Pemerintah RI Terapkan PPN 12% Secara Menyeluruh untuk Barang Umum
Namun, karena ekspor dikenakan tarif PPN 0% sesuai Pasal 7 ayat (2) huruf a UU PPN, perusahaan tambang bisa mengklaim restitusi PPN masukan tanpa membayar PPN keluaran atas ekspor.
Kondisi ini memicu apa yang disebut sebagai “subsidi fiskal terbalik”, di mana negara justru harus mengembalikan pajak kepada eksportir barang tambang meski tidak memungut pajak dari transaksi ekspor tersebut.
Ketua Umum IWPI Rinto Setiyawan menyebut bahwa fenomena ini merugikan negara dan memperbesar ketimpangan fiskal.
Rinto mengungkapkan bahwa selama 2020–2023, pemerintah telah mengembalikan Rp 253 triliun dalam bentuk restitusi PPN hanya untuk enam jenis barang tambang, seperti batubara, besi/baja, gas alam, minyak, lignit, dan minyak mentah.
Menurutnya, kondisi tersebut sangat tidak adil bagi keuangan negara dan berpotensi memperlebar ketimpangan fiskal.
“Negara justru membayar kembali PPN yang tidak pernah dipungut. Ini mayoritas dinikmati oleh konglomerasi tambang. Ini bentuk subsidi tersembunyi untuk para oligarki tambang,” tegas Rinto dalam keterangannya, Senin (23/6).
Rinto mendesak Presiden Prabowo Subianto untuk segera merevisi ketentuan PPN dalam UU PPN. IWPI mengusulkan agar ekspor hasil tambang dikenai tarif khusus PPN sebesar 5% hingga 10%.
Tujuannya adalah untuk menjamin kontribusi nyata sektor tambang terhadap APBN, mengendalikan restitusi masif yang membebani anggaran, dan menegakkan keadilan fiskal dan konstitusional, sebagaimana amanat Pasal 33 UUD 1945.
Baca Juga: Pajak Orang Kaya Perlu Ditingkatkan, AMRO Soroti Kesenjangan Tarif PPh
"Kalau negara tidak segera melakukan revisi, maka APBN kita akan terus terkuras. Ini bukan hanya masalah teknis fiskal, ini masalah moral konstitusi," katanya.
Menurut IWPI, meski secara hukum eksportir berhak atas restitusi, pemerintah memiliki mandat konstitusional untuk mengatur sektor tambang yang strategis dan berbasis sumber daya alam milik negara.
“Jangan sampai rakyat yang bayar PPN rokok dan sabun, tapi pengusaha tambang justru dikembalikan pajaknya triliunan rupiah,” sindir Rinto.
IWPI mendesak pemerintah untuk tidak lagi bersikap pasif terhadap beban restitusi pajak dari sektor tambang.
Dengan revisi UU PPN dan pemberlakuan tarif khusus untuk ekspor tambang, negara bisa memperbaiki ketimpangan fiskal dan memulihkan keadilan konstitusional dalam pengelolaan sumber daya alam.
Selanjutnya: Selamat Sempurna (SMSM) Terima Dividen dari Anak Usaha Rp 22,75 Miliar
Menarik Dibaca: Katalog Promo Alfamidi Hemat Satu Pekan 23-29 Juni 2025, Kanzler Diskon Rp 15.400!
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News