Reporter: Margareta Engge Kharismawati | Editor: Dikky Setiawan
JAKARTA. Kementerian Keuangan (Kemkeu) berencana memperpendek rata-rata jangka waktu (tenor) utang pemerintah pusat. Jika saat ini rata-rata jangka waktu Surat Berharga Negara (SBN) adalah 9,6 tahun, akan diperpendek menjadi selama 9 tahun.
Direktur Jenderal (Dirjen) Pengelolaan Utang (DJPU) Kemkeu Robert Pakpahan mengatakan, sejatinya dengan rata-rata profil jatuh tempo utang yang panjang seperti saat ini bisa membuat pemerintah memiliki masa waktu cukup lama untuk membayar utang jatuh tempo. Hanya saja, ongkos pembayaran imbal hasil atawa yield menjadi lebih mahal. "Kami ingin menurunkan menjadi 9 tahun," ujar Robert, pekan lalu.
Pemerintah ingin target tersebut bisa tercapai mulai tahun ini. Caranya adalah dengan mengurangi penerbitan dan lelang obligasi tenor panjang. Untuk itu, pemerintah hanya akan menerbitkan obligasi seri-seri jangka pendek seperti 12 bulan atau 5 tahun dalam setiap lelangnya nanti.
Robert berharap dengan hanya mencetak utang bertenor pendek, maka akan bisa menurunkan imbal hasil yang harus dibayar pemerintah.
Berdasarkan pemantauan Kementerian Keuangan, per Maret 2014 menunjukkan, imbal hasil utang SBN rupiah memang terus mengalami kenaikan. Untuk tenor 1 tahun, jika Desember 2012 imbal hasil 3,96%, naik menjadi 6,67% pada Desember 2013.
Adapun pada 28 Februari 2014 sudah naik ke 6,97%. Untuk tenor 5 tahun, naik dari 4,65% pada Desember 2012 menjadi 7,91% pada Desember 2013, dan 7,84 pada 28 Februari 2013 (lihat tabel).
Rasio pajak harus naik
Ekonom Samuel Asset Manajemen, Lana Soelistianingsih sependapat tenor obligasi yang makin panjang membuat kupon makin mahal dan yield semakin tinggi. Namun, menurut dia, ada sisi positif dan negatif pemerintah jika pemerintah ingin rata-rata utang bertenor pendek.
Sisi positifnya meminimalkan biaya utang sehingga lebih murah. Namun sisi negatifnya adalah dengan keterbatasan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), dikhawatirkan pemerintah akan mengalami kesulitan cash flow untuk membayar utang jangka pendek yang jatuh tempo tersebut.
Apalagi dengan rasio penerimaan pajak yang masih rendah hanya 11,8% dari seluruh penerimaan di APBN. "Kalau pajak bisa 15% akan lebih mudah bayar utang," katanya.
Karena itu pemerintah perlu meningkatkan rasio penerimaan pajak jika ingin rata-rata utang bertenor pendek.
Ekonom Bank Central Asia (BCA) David Sumual juga berpendapat pilihan tenor utang sangat dilematis. Sebab jika utang bertenor pendek makin banyak, menyebabkan risiko meningkat. Dengan sendirinya imbal hasil yang harus dibayar ke investor juga meningkat.
Oleh karena itu, dia menyarankan pemerintah melihat situasi. Seperti pada tahun 2008-2012 ketika banjir likuiditas, pemerintah mengambil utang jangka panjang karena yield jangka panjang rendah. Sekarang saat market bergejolak, utang jangka pendek memang lebih menarik.
Agar imbal hasil stabil, ia menyarankan pemerintah menjaga inflasi. "Saat inflasi rendah, yield bisa lebih rendah lagi," katanya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News