Reporter: Margareta Engge Kharismawati | Editor: Sanny Cicilia
JAKARTA. Berutang itu serba salah. Utang dengan tenor pendek belum tentu mampu membayar ketika jatuh tempo. Sedangkan utang jangka panjang membuat imbal hasil alias yield yang harus dibayar menjadi lebih tinggi.
Yang menjadi keresahan pemerintah saat ini yaitu utang dengan tenor jangka panjang. Direktur Jenderal Pengelolaan Utang (DJPU) Robert Pakpahan mengatakan rata-rata tenor utang negara 9,6 tahun.
Memang dengan profil utang yang cukup panjang ini pemerintah tidak perlu panik jatuh tempo. Namun negatifnya, imbal hasil yang dibayar bisa tinggi sehingga ongkos berutang pemerintah lebih tinggi. "Kami mau turunkan ke 9 tahun," ujar Robert pekan lalu.
Targetnya dalam jangka waktu menengah tahun ini pemerintah akan menurunkannya ke 9 tahun. Caranya adalah mengurangi penerbitan lelang dengan tenor panjang. Selain itu, setiap lelang nantinya pemerintah akan mengambil seri-seri jangka pendek seperti 12 bulan atau 5 tahun.
Menurut Robert, dengan pengambilan tenor pendek mudah-mudahan bisa menurunkan imbal hasil yang harus dibayar pemerintah.
Ekonom Samuel Asset Manajemen Lana Soelistianingsih menilai, obligasi dengan tenor yang makin panjang akan membuat kupon makin mahal dan yield semakin tinggi. Apalagi uang pemerintah pun terbatas.
Dia menjelaskan ada sisi positif dan negatifnya pemerintah mengambil utang tenor pendek. Positifnya, bisa meminimkan biaya dan lebih aman. Negatifnya, apakah Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pemerintah siap membayar cash flow jangka pendek.
Saat ini rasio pajak rendah hanya 11,8%. "Kalau bisa 15% akan lebih mudah membayar utangnya," tandasnya. Rasio pajak inilah yang perlu ditingkatkan pemerintah agar bisa seiring dengan keinginan pemerintah mengambil utang tenor pendek.
Di sisi lain, Ekonom Bank Central Asia (BCA) David Sumual berpendapat persoalan pengambilan tenor utang adalah dilematis. Kalau tenor pendek maka pembayaran utang jatuh tempo makin besar.
Karena itu, dirinya menyarankan pemerintah mengambil utang melihat situasi saja. Misalnya, waktu 2008-2012 lalu terjadi banjir likuiditas sehingga banyak yang tertarik mengambil utang jangka panjang sehingga yield jangka panjang turun. Sekarang ini market sedang bergejolak sehingga lebih tertarik jangka pendek.
Intinya adalah bagaimana menurunkan inflasi jangka panjang. "Sehingga inflasi rendah dan yield kita bisa lebih rendah lagi," tutur David.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News