Reporter: Lydia Tesaloni | Editor: Tri Sulistiowati
KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Kementerian Koordinator (Kemenko) Perekonomian menyebut pemerintah bakal turut mempertimbangkan permintaan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump untuk membangun basis produksi di AS sebagai langkah negosiasi tarif lanjutan.
“Pastilah kita pertimbangkan,” kata Juru Bicara Kemenko Perekonomian Haryo Limanseto kepada Kontan, Rabu (9/7).
Menurut Haryo, permintaan Trump agar Indonesia membangun basis produksi di AS bukan masalah besar. Pada akhirnya, itu terkait perdagangan dan investasi yang bersifat timbal balik, Haryo bilang Indonesia juga akan terus mengundang AS untuk menambah porsinya dalam iklim investasi domestik.
Di luar itu, Haryo memastikan pemerintah bakal terus bernegosiasi dengan harapan Indonesia bisa mendapat tarif yang lebih rendah. Pasalnya, pihaknya juga tak bisa memastikan apa alasan rinci Trump tetap tidak menurunkan tarif 32% terhadap Indonesia.
Baca Juga: Tarif Impor Tembaga AS Naik 50%, AMMN hingga MDKA Diproyeksi Diuntungkan Meski Sesaat
“Kita harus bertemu dulu dengan pihak Amerika, lalu bertanya apa yang kira-kira bisa dilakukan agar tarif bisa lebih rendah lagi. Sejauh ini tawaran terakhir sudah lengkap, proposal kita juga dianggap paling bagus, jadi belum ada rencana tawaran lain,” papar Haryo.
Untuk diketahui, pada Senin (7/7) lalu sejumlah perusahaan Indonesia memang sudah meneken nota kesepakatan (MoU) kerja sama dengan sejumlah perusahaan AS. Secara total, nilai kerja sama ini mencapai US$ 34 miliar.
Terkait itu, Ketua Umum Afiliasi Global Ritel Indonesia (AGRA) Roy Mandey memperingatkan agar upaya ini jangan sebatas perjanjian MoU tanpa konsep yang konkret. Dalam artian, perlu ada kejelasan teknis untuk meyakinkan AS bahwa ke depannya kerja sama tersebut benar-benar dapat menambal defisit perdagangan yang ada.
“Harus ada jadwal, bukti pembayaran, dan siapa penanggungjawabnya,” tegas Roy saat dihubungi Kontan, Rabu (7/7).
Namun, Haryo mengaku tak bisa menjelaskan lebih rinci terkait MoU yang telah diteken, sebagaimana itu adalah kesepakatan B2B (business-to-business) antar perusahaan. “Tidak bisa sepenuhnya dibuka, perusahaan (yang terlibat) tidak berkenan,” katanya.
Risiko Posisi Indonesia di BRICS
Indonesia menghadapi risiko tambahan dari keterlibatannya di BRICS, sebagaimana Trump mengumumkan bahwa negara anggota BRICS bakal dikenakan tarif tambahan 10%.
Namun, Haryo bilang risiko ini tak akan menjadi bagian dari negosiasi. “Kita tidak melihat itu. Kita hanya melihat sekarang dapat tarif 32%, komponen apa yang menghasilkan angka 32% ini yang kita perhatikan,” katanya.
Haryo bilang itu baru bagian dari pernyataan Trump. Dalam artian, belum ada tindak lanjut pasti terkait kebijakan tambahan 10% tarif untuk BRICS. Dus, pemerintah tak turut mempertimbangkan sentimen ini dalam negosiasi selanjutnya.
Baca Juga: AGRA Ingatkan Pemerintah Perlu Komitmen Konkrit untuk Yakinkan AS Turunkan Tarif
Selanjutnya: Rusia Lancarkan Serangan Udara Terbesar Usai Trump Janji Bantu Ukraina
Menarik Dibaca: 5 Manfaat Sarapan saat Diet Tubuh, Cegah Keinginan Ngemil Tengah Malam
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News